Pembinaan Nelayan Melalui Kegiatan Pengembangan Agribisnis Perikanan



By:
NURUL INAYAH

A.    Latar Belakang Masalah

            Kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya permasalahan perekonomian masyarakat; karena definisi kemiskinan adalah lemahnya sumber penghasilan yang mampu diciptakan individu masyarakat yang juga mengimplikasikan akan lemahnya sumber penghasilan yang ada dalam masyarakat itu sendiri dalam memenuhi segala kebutuhan perekonomian dan kehidupannya. Imron (2003) mengatakan bahwa : “Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh sementara ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi, apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya.” Dengan demikian, kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun struktural.
Ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang. Tidak dapat disangkal lagi bahwa masyarakat pesisir merupakan segmen anak bangsa yang paling tertinggal tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang bergelut di sektor non perikanan. Betapa tidak, nelayan kecil yang jumlahnya cukup banyak mendiami wilayah pesisir mempunyai pendapatan hanya sekitar Rp.300.000,-/bulan/keluarga. Memang sungguh ironis, padahal wilayah pesisir sangat kaya sumberdaya kelautan dan perikanan serta jasa kelautan lainnya. (Direktorat PEMP – Ditjen P3K).
Masalah kemiskinan struktural yang terjadi pada masyarakat pantai, di mana faktor-faktor yang menjadi penyebabnya pada dasarnya dikelompokkan atas : (1) masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap atau lebih tegasnya perahu bermotor; (2) akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit; (3) persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada buruh nelayan; (4) sarana penyimpanan ikan; (5) hak pengusahaan kawasan tangkap; dan (6) perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir. Atas dasar pendapat di atas dan melihat kondisi kekinian di daerah Kabupaten Banyuwangi, salah satu akar kemiskinan masyarakat pantai adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondusif yang dilandasi dengan sifat usaha yang individual, tradisional dan subsistem.
Banyak kasus pengentasan kemiskinan yang dilakukan dengan menjadikan masyarakat nelayan sebagai objek. Ini dilakukan misalnya dalam bentuk pemberian bantuan (yang sebenarnya adalah pinjaman yang harus dibayar oleh nelayan) alat tangkap yang tidak mengacu pada kebutuhan nelayan, melainkan merupakan paket yang sudah ditentukan dari atas, dan cenderung seragam antar berbagai daerah. Dengan sistem bantuan yang sifatnya top down ini, mengakibatkan alat bantuan menjadi tidak efektif. Seharusnya, jenis bantuan itu tidak semata-mata ditentukan dari atas, melainkan didasarkan atas dialog dengan masyarakat setempat. Dengan cara demikian, nelayan diposisikan sebagai subjek dalam pembangunan perikanan sehingga jenis bantuan yang diberikan akan betul-betul sesuai dengan yang dibutuhkan oleh nelayan.
Permasalahan yang terkait dengan produksi memang merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi, selain masalah pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan itu, nelayan berusaha melakukan terobosan untuk meningkatkan pendapatan dengan cara mengandalkan tengkulak untuk memasarkan hasil tangkapannya, dan meminjam uang kepada pemilik modal untuk pengadaan alat tangkap. Akan tetapi, ternyata berbagai upaya yang dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya telah menjebak mereka dalam ketergantungan dengan pihak lain sekaligus menempatkan pada posisi yang lemah.
Pada kondisi seperti tersebut di atas, berakibat potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan. Masalah yang terjadi adalah sebaliknya, di mana lingkaran setan kemiskinan terus saja terjadi di berbagai daerah pesisir. Lingkaran setan ini, pada pokoknya berasal dari fakta bahwa produktivitas total di daerah terbelakang (pesisir) sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna, dan keterbelakangan perekonomian. Lingkaran setan tersebut kalau dilihat dari sudut permintaan dapat dijelaskan sebagai berikut: “Rendahnya tingkat pendapatan nyata menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat investasi pun rendah. Tingkat investasi yang rendah kembali menyebabkan modal kurang dan produktivitas rendah. Produktivitas rendah tercermin di dalam pendapatan yang nyata rendah. Pendapatan nyata rendah berarti tingkat tabungan juga rendah. Tingkat tabungan yang rendah menyebabkan tingkat investasi rendah dan modal kurang. Kekurangan modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah. Dengan demikian lingkaran setan itu lengkaplah pula kalau dilihat dari sudut penawaran”. Jhingan (2004 : 33-34).

B.     Gambaran umum nelayan Pancer
Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif.  Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya abrasi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan terumbuh karang, serta belum teroptimalkannya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
Kondisi Nelayan Pancer pada umumnya : Nelayan tradisional dengan pola tangkap yang tergantung pada musim, belum memanfaatkan sumber daya alam laut secara maximal, rendahnya pengetahuan tentang perbankan atau belum Bank able, rendahnya pengetahuan pengolahan hasil tangkapan, bagi hasil dengan pemilik kapal kurang proporsional, Alat tangkap : jukung 70 buah skoci 105 buah dan slerek 5 buah, tidak bank able karena tidak adanya aset agunan, rendahnya pengetahuan pengolahan hasil ikan, hanya mengandalkan penghasilan suami istri tidak produktif, lembaga-lembaga penunjang kegiatan nelayan tidak berfungsi dengan baik, perkampungan nelayan ada 1.041 kk, mendiami 30 ha, Fasilitas : Pelabuhan dengan pemecah gelombang,  KUD,  TPI, dan Pasar.
C.     Pembahasan
1)      Pemberdayaan Ekonomi masyarakat
Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang menjelaskan berbagai upaya untuk memperkuat posisi seseorang untuk melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan individu yang bersangkutan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-langkah mengatasinya. Inti dari kegiatan pemberdayaan adalah motivasi untuk memahami kondisi dan situasi kerja sehari-hari serta menumbuhkan kemampuan dan keberanian mereka untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang mereka hadapi, sehingga kuncinya adalah membangun partisipasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan masyarakat dengan memperkuat kelembagaan masyarakat agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Implementasi Pemberdayaan itu sendiri sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Ada dua macam cara yang digunakan, yaitu gaya partisipasi dengan berbasis hubungan pertemanan dan gaya yang cenderung top down (dari atas ke bawah) berbasis hubungan yang bersifat paternalistik.
Pada masa lalu Program pemberdayaan masyarakat, biasanya dibuat di tingkat Pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten (top down). Masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut tidak diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan dan menganggap masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam pandangan  ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.
Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah semacam ini hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat. Bantuan  yang diberikan lebih banyak menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan lebih menyusahkan masyarakat dari pada menolongnya, karena bantuan tersebut kadang-kadang tidak sesuai kebutuhan dan prioritas yang diinginkan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat saat ini memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama, sehingga masyarakat itu sendiri yang menentukan kebutuhan dan prioritas yang diinginkannya.     
Sasaran utama dari pemberdayaan masyarakat adalah membuka akses bagi kaum yang terpinggirkan dalam pembangunan, termasuk kaum perempuan dan golongan tidak berdaya lainnya. Untuk itu pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat, menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang dihadapi.
Untuk menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat perdesaan khususnya masyarakat nelayan  pada dasarnya harus memiliki  3 (tiga) komponen yaitu Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat, kedua pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta pemerintah dan ketiga terjadinya modernisasi melalui pemantapan pada perubahan struktur ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran masyarakat lokal.
Sedangkan kebijakan pemberdayaan masyarakat  secara umum dapat di kelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pertama kebijakan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi rakyat, kedua kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran dan ketiga kebijakan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.
Pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pengembangan ketahanan pangan berada pada tiga level, yaitu : individu, komunitas regional (perluasan jaringan dan kemitraan terjangkau oleh komunitas tetapi sering tidak tersentuh oleh negara), dan negara. Pada tingkat individu, pemberdayaan dapat dikatakan berhasil manakala mampu mengembangkan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Pada tingkat komunitas, dampak dari pemberdayaan adalah berkembangnya nilai-nilai sosial dan struktur sosial baru dan kelembagaan yang makin efektif memenuhi kebutuhan komunitas. Sementara pada tingkat negara ditandai dengan terjadinya kebijakan baru yang mengubah pola hubungan dan distribusi kekuasaan, yang lebih berpihak pada masyarakat/rakyat. Khusus untuk tingkat individu dan komunitas, agar tercapai efektivitas pemberdayaan masyarakat  maka diperlukan peran pendamping yang diharapkan dapat berkonstribusi dalam menunjang keberhasilan program Pemberdayaan Masyarakat, dengan berperan dengan fasilitator pembangunan masyarakat.
2)       Pendampingan Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Salah satu upaya untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat adalah melalui program pendampingan. Sesungguhnya program pendampingan bukanlah sesuatu hal yang baru, namun akhir-akhir ini istilah pendampingan muncul kepermukaan karena melemahnya program penyuluhan dan tantangan yang dihadapi sektor pertanian. Prinsip-prinsip pendampingan yang dapat digunakan sebagai panduan dalam upaya pemberdayaan masyarakat meliputi 
a)      Prinsip Berkelompok, Kelompok tumbuh dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Selain dengan anggota kelompoknya sendiri, kerjasama juga dikembangkan antar kelompok dan mitra kerja lainnya agar usaha mereka berkembang, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan serta mampu membentuk kelembagaan ekonomi. 
b)      Prinsip Keberlanjutan, Seluruh kegiatan penumbuhan dan pengembangan diorientasikan pada terciptanya sistem dan mekanisme yang mendukung pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Berbagai kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang memiliki potensi untuk berlanjut di kemudian hari.
c)      Prinsip Keswadayaan, Masyarakat diberi motivasi dan didorong untuk berusaha atas dasar kemauan dan kemampuan mereka sendiri dan tidak selalu tergantung pada bantuan dari luar. 
d)     Prinsip Kesatuan Keluarga, Kepala keluarga beserta anggota keluarga merupakan pemacu dan pemicu kemajuan usaha. Prinsip ini menuntut para pendamping untuk memberdayakan seluruh anggota keluarga masyarakat  berperan serta dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. 
e)      Prinsip Belajar Menemukan Sendiri, Kelompok dalam masyarakat tumbuh dan berkembang atas dasar kemauan dan kemampuan mereka untuk belajar menemukan sendiri apa yang mereka butuhkan dan apa yang akan mereka kembangkan, termasuk upaya untuk mengubah penghidupan dan kehidupannya
.
3)      Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat
Konsepsi pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Hakikat dari konseptualisasi pemberdayaan berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Secara tersirat pemberdayaan memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang dilandasi dengan penerapan aspek demokratis, partisipasi dengan titik fokusnya pada lokalitas, sebab masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui issue-issue lokal, seperti yang dinyatakan oleh Anthony Bebbington, yaitu: Empowerment is a process through which those excluded are able to participate more fully in decisions about forms of growth, strategies of development, and distribution of their product.   Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ;
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).  Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua,  memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan pranata-pranatanya.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
4)      Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Implementasi program pemberdayaan merupakan suatu konsekuensi dari pergeseran paradigma pembangunan nasional yang mengarah kepada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Perubahan paradigma pembangunan tersebut mau tak mau menuntut adanya perubahan strategi pemberdayaan yang top-down ke pemberdayaan  yang bottom-up yaitu dengan memberikan kesempatan dan akses yang sama kepada masyarakat melalui kebijakan pemihakan dan pemberdayaan (demokratisasi pembangunan). Bertitik tolak dari itu maka Kementrian Agama RI melalui DITPERTAIS bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Agama mebuat pemberdayaan PAR ( Participatory Action Research ) merupakan kepedulian kalangan akademisi terhadap lingkungan masyarakat marginak.  Strategi pemberdayaan masyarakat dalam Progam PAR ini diwujudkan dalam bentuk : 1) partisipasi masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan melestarikan pembangunan ; 2) pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk memilih kegiatan yang dibutuhkan ; 3) pemihakan pada penduduk miskin ; 4) pemberian akses informasi kepada setiap penduduk desa mengenai peluang, kebebasan memilih, dan memutuskan ; 5) penciptaan suasana kompetisi yang sehat dalam pengajuan usulan kegiatan ; 6) penerapan teknologi tepat guna dan padat karya ; dan 7) penggalakkan swadaya masyarakat dalam pelaksanaan dan pelestarian pembangunan.

5)      Nelayan Belum Sejahtera
Visi menyejahterakan nelayan semenjak orde lama mulai dikaji dengan merumuskan  bijakan UU sistem bagi hasil perikanan (UUBHP No 8 Tahun 1964). Padahal, sektor perikanan  termasuk salah satu sumber ekonomi yang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan nasional.Namun faktanya setelah 46 tahun, efek dari UUBHP tersebut belum juga kelihatan. Jumlah nelayan miskin, menurut Prof Dr Rokhmin Dahuri, mencapai 60 persen dari total empat juta rumah tangga perikanan. Jumlah ini makin meningkat saat terjadi kenaikan harga BBM dan TDL yang membebani biaya operasi penangkapan nelayan. Praktik bagi hasil usaha penangkapan antara pemilik modal dan nelayan ditetapkan berdasarkan status dan jabatan nelayan dalam operasi penangkapan. Akibatnya, sebagian besar nelayan yang hanya punya keahlian menarik jaring (ABK) memperoleh bagian paling kecil. Dan, itu jumlahnya sangat banyak.. Hasil yang diterima nelayan tradisional di pantai Pancer ditetapkan pada pertimbangan ukuran kapal, jenis alat tangkap, jumlah anak buah kapal, serta lamanya waktu penangkapan. Misalnya, sebuah kapal purse seine yang berlayar selama 18 hari dan tangkapan utamanya adalah ikan layang (Decapterus sp), rata-rata memperoleh 11 ton per trip. Jika nilai jual ikan layang sebesar Rp 2000/kg, penerimaan nelayan hanya mencapai Rp 22 juta rupiah.
Nilai tangkapan itu selanjutnya dikurangi biaya retribusi di tempat pelelangan ikan (TPI), biaya sewa alat-alat, sewa angkut kuli, dan biaya pikul. Pengeluaran pada waktu pendaratan untuk kuli pelabuhan dan retribusi mencapai Rp 920 ribu per pendaratan. Sisa penerimaan lelang kotor kemudian dikurangi lagi dengan perbekalan awak kapal selama penangkapan, bonus nahkoda dan anak buah kapal. Sisa penerimaan lelang kotor dibagi dua antara nelayan pendega dan pemilik yang mencapai Rp 17,5 juta per trip. Penerimaan antara pemilik dan pendega masing-masing Rp 8,7 juta (50:50). Seluruh penerimaan pendega akan dibagi lagi menjadi 25 bagian sesuai jumlah awak kapal yang melakukan penangkapan. Besaran penerimaan untuk satu bagian berjumlah Rp 351 ribu-Rp 362 ribu per orang selama 18 hari.
Penerimaan yang rendah ini mendorong nelayan untuk beralih profesi, baik sementara maupun selamanya. Mereka umumnya nelayan kapal mini purse seine, nelayan purse seine, dan nelayan cantrang.  Penyebabnya antara lain disebabkan oleh   a) sistem pembagian hasil tangkapan tidak menguntungkan nelayan buruh, apalagi mensejahterahkan; b) mengurangi ketergantungan kepada juragan; c) kemudahan kendapatkan hasil dari usaha sendiri; d) faktor usia; e) menurunnya produktivitas usaha; serta f) cuaca ekstrem yang membahayakan.

6)      Memberdayakan Masyarakat Pesisir
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. 
Pertanyaan kemudian muncul apakah konsep pemberdayaan yang salah atau pemberdayaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari segolongan orang?
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:
a)      Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.  Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.  Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
b)      Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.  Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal.  Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
c)      Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
d)     Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh. 
            Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka.  Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh.  Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya.  Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah:  Bagaimana memberdayakannya?
Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, LSM, kalangan akademisi, dan program pendampingan PAR pada intinya setiap program yang dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
a)    Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.
b)   Pendampingan, Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula.
c)    Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program pendampingan disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.

D.    Kesimpulan
Pemberdayaan yang dipandang sebagai suatu proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam proses alokasi sumber-sumber ekonomi, proses distribusi, manfaat, dan proses akumulasi yang membawa pada peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan. Perubahan yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Dengan memahami pemberdayaan sebagai perubahan struktur, maka pemilihan strategi pemberdayaan yang tepat merupakan langkah awal yang baik untuk mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum atau masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan program PAR, pemberdayaan harus diarahkan pada upaya untuk memajukan harkat, martabat, kualitas, serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks itu berarti pemberdayaaan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat mandiri.  Jadi ada semacam tuntutan bahwa paradigma pemberdayaan harus berpusat pada masyarakat (people-centered development) yang memandang masyarakat sebagai pemeran utama pemberdayaan dan bukan hanya sebagai penerima. Salah satu kunci utama atas jaminan keberhasilan pemberdayaan adalah dengan memberi keleluasan pada masyarakat untuk menentukan kebutuhannya termasuk bagaimana memenuhi kebutuhannya itu. Sedang peran pendamping hanya berfungsi sebagai fasilitator dalam pemberdayaan. Metode yang cukup relevan untuk mendukung pendekatan di atas adalah dengan menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dalam setiap proses pemberdayaan yang akan dijalankan.
E.     Saran
Untuk meningkatkan kesejahteraan Nelayan, setidaknya ada tiga langkah strategis dalam merevitalisasi nelayan agar menjadi kelompok masyarakat yang bisa hidup layak.
1.      Melalui pendekatan pengembangan sistem bisnis dalam perikanan tangkap yang melibatkan nelayan pemilik dan nelayan buruh. Pada sistem nelayan pemilik dan buruh, mereka harus membagi keuntungan dan kerugian secara bersama. Sistem kesepakatan usaha, penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan keadilan menjadi kata kunci.
2.      Melalui restrukturisasi kelembagaan dan pengembangan kelompok masyarakat (pokmas). Cara ini akan mampu memberikan kesempatan yang sama bagi nelayan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Sebab, ridak sejahteranya nelayan sangat terkait dengan perkembangan kelembagaan lokal, mulai dari kelembagaan fisik, manajemen, dan sistem yang tidak berjalan secara baik. Hubungan patron-klien yang menjadi ciri khas nelayan tradisional memberikan tingkat ketergantungan usaha yang tinggi terhadap partner usaha.
3.      Melalui sistem pembinaan dan pendampingan usaha nelayan. Sistem manajemen pada level nelayan tidak tertata dengan baik, gaya hidup yang suka bermewah-mewahan saat hasil tangkapan melimpah harus segera di perbaiki melalui sistem yang baik dan berorientasi jangka panjang. Untuk melakukan transformasi itu, dapat diupayakan melalui pembinaan dan pendampingan restrukturisasisosial budaya nelayan. Ketiga program ini seharusnya menjadi pilar utama dalam program minapolitan. Untuk mencegah terjadinya urbanisasi ke kota dan alih profesi yang makin besar, maka penciptaan lapangan kerja dari kegiatan penangkapan harus tetap dilakukan. Momentum minapolitan tidak seharusnya hanya untuk budi daya, tetapi juga perikanan tangkap. Melalui Minapolitan seharusnya terjawab bahwa nelayan dilahirkan tidak untuk miskin.

Daftar Pustaka
Craig dan mayo. 1995. Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Dahuri, Rohmin, dkk. 2000. Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan  Untuk  Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: LISPI.
Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Imron, Masyuri.2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Yokyakarta: Media   Presindo.

Jhinghan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. Penerjemah D Guritno, Cet, 10. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kotze.1987. Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kwalitatif, Cetakan Pertama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nadjib, Muhammad. 1993. Karakteristik Sosial Budaya dan Masalah Perkoperasian Masyarakat Nelayan. Dalam Masyarakat Indonesia. No 1 (20) 1993.

Paul. 1987. Dalam Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Payne.1986. Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Pranarka dan Vindhiyandika M. 1996. “Pemberdayaan” dalam Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed) Jakarta : CSIS.

Rappaport. 1987. Dalam Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Rose dan Blak.1983. Dalam Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Simon, B.L. 1990. Rethinking Empowerment. Journal Of Progresive Human Service. 1.27-29.

Thomas A. 1992 .dalam   Hikmat, Harry, 2010. Strqtegi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.




0 komentar:

Posting Komentar

ABOUT VARIASY

Foto saya
Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
Variasy merupakan Media pers dibawah naungan BEM-J Ekonomi Syari'ah Blog ini milik Prodi Ekonomi Syari'ah (ESY) Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA)Banyuwangi ini merupakan media kreatifitas milik mahasiswa ESY STAIDA Blokagung Banyuwangi Jawa timur Salam Kreativitas. . .