PEMIKIRAN HUKUM SYI'AH



1.      Pendahuluan
Bila kelahiran Islam di tengah bangunan sosio-kultur Arab tempo dulu yang begitu mapan dipandang sebagai suatu revolusi, maka kemunculan Shi>’ah  di dunia Islam adalah sebuah revolusi dalam revolusi. Begitulah simpulan banyak kalangan atas dinamika Shi>’ah di bentangan sejarah Islam. Boleh jadi, anggapan itu tak berlebihan. Terlebih mengingat kenyataan betapa kehadirannya mampu memberi semacam equilibrium bagi dominasi Sunni di dunia Islam hingga hari ini. Anggapan itu berkait juga dengan fakta maraknya aneka sekte yang berkembang massif nyaris sepanjang sejarah politis dan nonpolitis mereka.[1]
Lahirnya Shi>’ah pada awalnya merupakan persoalan politik antara Ali dan Mu’awiyah, sama sekali tidak menyangkut persoalan agama. Akan tetapi, persoalan politik ini kemudian diseret ke wilayah agama dengan menampilkan nas-nas al-Quran atau Hadith untuk memperkuat dan membela junjungannya, karena politik semata tidak akan dapat memberikan alasan yang kuat dan hanya bersifat duniawi.[2]
Ali bin Abi Talib yang menurut keyakinan orang Shi’ah sebagai orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Tidak satupun pemikiran dan pandangannya yang bertentangan dengan Rasulullah dan para sahabat yang lain, termasuk masalah khilafah. Sehingga kalau ada klaim dari orang-orang Shi’ah tentang kekholifahan Ali bin Abi talib, maka itu murni pendapat dan kepentingan Shi’ah, bukan pendapat umum dari para Sahabat.
Shi’ah adalah mereka yang menjadi pengiku Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat bahwa kekhalifahan dan imamahnya berdasarkan kepada penunjukan dan pengangkatan, baik secara terbuka maupun tertutup. Mereka juga berpendirian bahwa imamah (sepeninggal Ali) hanyalah berada ditangan keluarga Ali, kalaulah imamah itu jatuh ketangan selain keluarganya, itu mungkin karena adaanya kesalahan yang dilakukan oleh sebagian mereka ataupun mungkin karena adanya penggelapan hak keimaman yang sah oleh mereka itu.
Menurut mereka, imamah bukanlah suatu perkara sipil yang disahkan melalui kehendak rakyat dengan mengangkat seorang imam. Menurut pilihan mereka sendiri, akan tetapi merupakan suatu perkara yang fundamental dan merupakan suatu unsur agam yang pokok. Para rosul Allah tak akan bersikap acuh dan masa bodoh terhadap perkara ini, tidak pula mereka akan membiarkannya dilakukan atas dasar pilihan rakyat banyak.

2.      Pembahasan
A. Pengertian Shi’ah
Shi’ah adalah suatu aliran yang meyakini bahwa Ali bin Abi Talib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Dari segi bahasa shi’ah merupakan masdar dari Sha’a-Yashi’u  yang berarti pengikut, kelompok atau golongan. Paham shi’ah dianut oleh sekitar 20 persen dari jumlah umat islam di dunia. Penganut sh’ah tersebar di Negara-negara Iran, Irak, Afganistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahroin, Kuwait dan sebagainya. [3]
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Shi’ah. Sebagian menganggap shi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan muhajirin dan Anshar dibalai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hashim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Talib. Sebagian yang lain menganggap shi’ah lahir di masa akhir kekhalifahan Uthman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Talib. Pada masa itu terjadi pemberontakan kepada khalifah Uthman bin Affan yang berakhir dengan kematian Uthman, kemudian ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Talib bersedia dibaiat sebagai khalifah.
Pendapat yang paling mashhur adalah bahwa shi’ah lahir setelah gagalnya perundingan sntara khalifah Ali bin Abi Talib dengan Mu’awiyah bin Abi Shafyan di Shiffin, yang lazim disebut dengan al-Tahkim atau arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali yang disebut dengan kelompok Khawarij . Sebagian besar yang tetap setia kepada khalifah disebut Shi’atu Ali (pengikut Ali).
Sejak Rasulullah wafat, Ali telah banyak memiliki pendukung. Menurut mereka , Ali dan keturunannya berhak memangku khalifah. Namun mereka tidak mampu menghalangi terpilihnya Abu Bakar, Umar dan Uthman menjadi khalifah. Setelah Uthman wafat, Ali bin Abi Talib mempunyai peluang yang besar untuk menjadi khalifah, akan tetapi Mu’awiyah bin Abi Safyan yang berkuasa di wilayah Sham (masih ada hubungan keluarga dengan Uthman), mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah. Dengan menggunakan siasat, menuntut balas akan kematian Uthman, Mu’awiyah menolak mengakui kekhalifahan Ali, sebelum Ali mengadili dan meng pembunuh Uthman.
Sebagai reaksi atas sikap Mu’awiyah, maka para pendukung Ali merapatkan barisan untuk mematahkan ambisi Mu’awiyah tersebut, dengan cara mencari nas}-nas} al-Quran dan Hadith untuk menguatkan alasan mereka bahwa Ali dan keturunannyalah yang paling berhak menjadi khalifah. Setelah Ali terbunuh, mereka berdiri dibelakang putra-putra Ali dan cucu-cucunya, mereka menamakan diri kelompok shi’ah yang berarti pengikut, setia kawan dan sahabat.[4]

B. Sumber  Hukum Shi’ah
Shi’ah mazhab Imamiah mengenal, menghargai dan mengakui sumber-sumber perundan-undangan berikut ini :
1)      Al-Qur’an
2)      Sunnah Nabi
3)      Akal
4)      Konsensus (ijma’)
Mengenai topik sumber-sumber perundang-undangan, Ash-Shadr menulis, “Perlu diungkapkan bahwa sumber-sumber yang digunakan untuk sampai pada keputusan mengikat adalah Al-Qur’an Suci dan Sunnah Nabi seperti diriwayatkan oleh perawi-perawi andal tak soal dengan mazhab yang dianut. Tentang Qiyas (yaitu penggunaan pikiran logis untuk mendapatkan kesimpulan melalui analogi [persamaan] dan perbandingan), istihsan dan metode-metode lain, kami rasa tidak ada justifikasi memadai untuk penggunaan metode-metode itu. Mengenai akal dan bukti intelektual, para ahli teologi berbeda pendapat soal dibolehkan atau tidaknya. Menurut kami dibolehkan, meski tidak kami temukan satu keputusan mengikat pun yang sepenuhnya berbasis bukti intelektual karena keputusan mengikat yang dicapai lewat metode ini tentu saja ada rumusannya dalam Al-Qur’an atau Sunah. Adapun Ijma’ (konsensus ulama), ini bukanlah sumber keputusan mengikat seperti Al-Qur’an dan Sunah, meski dapat dipercaya sebagai alat bukti atau argumen dalam situasi-situasi tertentu. Kesimpulannya, sumber-sumber abash keputusan mengikat hanyalah Al-Qur’an dan Sunah.[5]
Bagi shi’ah, sunnah dapat dibedakan menjadi empat yaitu.
1)      Hadith sahih (tradisi yang otentik), yaitu hadith yang kebenarannya dapat diusut kembali sampai kepada imam (a’immah ma’shum) yang diceritakan oleh seorang imam adil atau bisa dipercaya yang kejujurannya disepakati oleh para imam ahli hadith.
2)      Hadith hasan (tradisi yang baik), yaitu hadis yang kebenarannya seperti hadith sahih, yakni dapat dikembalikan kepada imam ma’shum, tetapi diceritakan oleh seorang imam yang terhormat. Ahli-ahli hadith tidak menyebutnya tsiqah, adil dan dapat dipercaya, namu ia dipuji oleh ahli hadith dengan kata-kata lain.
3)      Hadith musaq (kuat), yaitu hadith yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dikenal thiqqah, adil, benar dan jujur oleh ahli sejarah, sekalipun beberapa atau semua perwainya bukan pengikut Ali ra.
4)      Hadith dha’if (lemah), yaitu hadith yang tidak mencapai atau memenuhi syarat-syarat hadith musaq.
Kedua, Shi’ah hanya menerima hadith dan pendapat dari imam Shi’ah dan ulama Shi’ah. Mereka menolak riwayat dari selaim imam Shi’ah. Dalam bidang tafsir, mereka hanya mengambil tafsir Shi’ah; dalam hal hadith, mereka hanya mengambil hadith riwayat Shi’ah.
Ketiga, Shi’ah menolak ijma’ umum. Menurut mereka, dengan mengakui ijma’ umum, berarti mengambil pendapat selain imam-imam Shi’ah. Mereka juga menolak al-Qiyas sebagai bagian dari al-ra’yu; karena, menurut mereka, agama bukan diambil dengan ra’yu.[6]

C. Sekter-sekte Shi’ah
Di lingkungan Shi’ah, maraknya beragam sekte pada dasarnya berawal dari silang sengkarut soal ima>mah menyusul gugurnya Imam Ketiga, Husayn bin ‘Ali ra., lewat suatu pembantaian tragis di padang Karbela.[7]
Menurut Asy-Syahrastani, dalam Shi’ah terdapat lima sekte atau firqah besar dengan 16 aliran kecil sebagai cabangnya. Lima sekte besar dan cabangnya itu adalah :
Sekte Al-Kisaniyyah dengan empat cabang : Al-Muktariyah, Al-hasyimiyah, Al-Bayaniyah dan Al-Razianiyah.
Sekte Al-Zaidiyah dengan tiga cabang : Al-jarudiyah, Sulaimaniyah, Al-Shalihiyyah dan Al-Batriayyah.
Sekte Al-Imamiyyah dengan delapan cabangnya : Al-Baqiriyah Al-Ja’fariyah Al-Waqifiyyah, Al-Nawusiyyah, Al-Afthaniyyah, Al-Sumaithiyyah, AL-Ismailiyyah Al-Waqifah, Al-Musawiyyah, Al-Mufadhaiyah dan Al-Itsna Asyriyyah.
Dua sekte terakhir adalah Al-Ghaliyah dan Al-Ismailiyyah.[8]
Dalam kajian ini penulis membatasi diri pada pembahasan tiga aliran terbesar yaitu : Al-Zaidiyah, Al-Imamiyyah dan Al-‘Ismailiyyah.

1)      Shi’ah Zaidiyah
Al-Zaidiyah adalah para pengikut Zaid ibn ‘Ali ibn Husain ibn ‘Ali ibn Abi T{a>lib. Menurut mereka, imamah hanya berada di tangan keturunan Fat}imah dan tidak ada imamah selain dari mereka. Namun menurut mereka setiap keturunan Fat}imah yang alim, pemberani, pemurah dan telah menyatakan dirinya menjadi imam, maka ia adalah imam yang sah yang wajib ditaati, baik berasal dari keturunan Hasan maupun Husain. Karena itu mereka mengakui imamah Muhammad dan Ibrahim, keduanya dari keturunan ‘Abdullah ibn Al-Hasan ibn Al-Hasan, keduanya telah menyatakan dirinya sebagai imam di amsa khalifah Al-Mans}u>r dan keduanya mati terbunuh akibat pengakuan ini. Mereka membolehkan ada dua orang imam pada dua daerah yang telah memenuhi persyaratan dan keduanya imam yang sah dan wajib ditaati. Demikian pendapat Zaid ibn ‘Ali.[9]
Ayah imam Zaid, Ali Zainal Abidin, dikenal sebagai ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang hokum dan periwayatan hadith-hadith. Imam Zaid yang lahir di Madinah pada tahun 700 M, termasuk dslsh dstu ulsms terkenal dari keluarga Alawi (keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib). Ia meriwayatkan hadith dari semua keluarga besarnya, termasuk juga dari kakaknya, Muhammad al-Baqir.[10]
Shi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa Imam tidaklah ditentukan oleh Nabi orangnya, tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi tidak mengatakan bahwa Alilah yang akan menjadi imam sesudah beliau wafat, tetapi Nabi hanya menyebut sifat-sifat imam yang akan menggantikannya. Ali diangkat menjadi imam , karena sifat-sifat itu terdapat dalam dirinya. Di antara sifat-sifat yang dimaksud ialah takwa, ilmu, kemurahan hati dan keberanian dan untuk imam sesudah Ali ditambahkan sifat keturunan Fat}imah.
Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik (الأفضل). Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh juga menjadi imam. Kalau yang pertama disebut imam afd}al yang kedua disebut imam mafd}u>l (المفضول). Oleh karena itu Shi’ah Zaidiah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Uthman. Mereka diakui sebagai imam-imam mafd}u>l  dan bukan imam-imam afd}a>l.[11]
Sumber-sumber hokum Shi’ah Zaidiyah ini adalah : Al-Qur’an, Sunnah, Ucapan-ucapan Imam Ali ra., Ijma’ Sahabat, Qiyas, Akal.[12]

2)      Shi’ah Imamiyyah
Imamiyyah adalah kelompok Shi’ah yang berpendapat bahwa ‘Ali ibn Abi T{a>lib secara nash dinyatakan sebagai imam bukan hanya disebut sifatnya bahkwan ditunjuk orangnya. Tidak ada yang terpenting dalam ajaran agama dan Islam selain dari menunjuk imam. Karenanya Rasulullah sampai akhir hayatnya selalu mengurus urusan umat. Diangkatnya imam adalah untuk menghilangkan semua perselisihan dan untuk mempersatukan umat. Tidak boleh membiarkan umat mempunyai pandangan sendiri-sendiri, berjalan masing-masing yang berbeda dengan yang lainnya. Karena itu wajib mengangkat seseorang yang perkataannya ditaati umat. Penunjukan Ali ibn Abi T{a>lib telah ditunjuk dalam beberapa nash baik secara tersurat maupun tersirat.[13]
Mereka juga percaya bahwa penciptaan para imam shi’ah lebih tinggi dari manusia biasa. Sebagaimana imam mereka berkata, “kami diciptakan oleh Allah dari cahaya keagungannya dan badan kami beserta ruh-ruh shi’ah kami diciptakan dari tanah istimewa di bawah arsh, adalah jasad-jasad shi’ah dam para Nabi diciptakan tanah jauh sebelumnya, sedangkan manusia selain shi’ah telah diciptakan oleh Allah dari tanah untuk menjadi kayu bakarnya api neraka (al-Kafi I, 389).[14]
Dalam sekte Imamiyyah, khususnya sekte Ithna Asy’ariyah adalah sekte yang paling dikenal. Sekte ini hingga kini banyak diikuti oleh banyak penduduk di wilayah Islam, terutama Iran dan Irak. Firqah ini dalam pengertian khusus disebut sekte Ja’fariyyah.[15] Disebut demikian karena Ja’far dianggap sebagai unsur penting dalam sekte ini, mengingat bahwa dalam masalah agama mereka merujuk pada fiqih Ja’far Al-S{adiq. Ditilik dari segi penguasaan fiqih ini, imam Ja’far dapat disejajarkan dengan imam-imam fiqih yang lain. Ia termasuk yang paling keras penolakannya terhadap sejumlah keyakinan yang berkembang dalam pengikut Shi’ah, misalnya ghaibah (tersembunyi), raj’ah (bangkit kembali), ataupun tanasukh (inkarnasi), dan juga tidak memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.[16]

3)      Shi’ah ‘Isma’iliyyah
Shi’ah ‘Isma’iliyyah atau Sab’iyah disebut-sebut muncul sesudah tahun 200 H. muncul pertama kami di Irak,[17] untuk kemudian mengalihkan gerakannya ke Persia, Tunisia, Khurasan dan India.[18] Selama rentang abad 2 H / 9 M hingga 4 H / 11 M, sekte ini secara ekstensif menyebarkan ajarannya, sehingga pernah tercatat dalam sejarah sebagai aliran terkuat di dunia Islam, mulai Afrika hingga India. Gerak persebaran itu dilakukan dengan mengobarkan revolusi social via asimilasi ide-ide, teristimewa platonisme dan gnostik.[19] Sedang dalam ranah politik, keturunan Ismail, dalam perjalanan sejarahnya, berhasil menguasai Mesir dan mendirikan Dinasti Fati>miyah di sana. Dalam perkembangannya, aliran ini telah pula melahirkan bermacam sub-sub sekte baru, seperti Ta’limiyah, Mubarakiyah, Qaramitah yang dikenal paling agresif dan Druzziyah, al-Hashashin dan lain-lain.
Hingga kini pengikut Shi’ah Ismailiyah masih terdapat di Syiria, India, Yaman, Asia Tengah dan Afrika Timur, serta Iran kendati untuk di Iran pengaruhnya tak sebesar Shi’ah Ithna ‘Ashariyah. Di Amerika Utara dan Eropa, mereka dapat ditemui, di mana jumlah terbesar berpusat di London.[20]
Firqah ini dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far al-S}adiq. Dari segi urutan, firqah ini berbeda dengan firqah ithna ‘asyariyyah yang berkeyakinan bahwa kepemimpinan Ja’far al-S}adiq diberikan kepada anaknya Musa al-Kazim, dan seterusnya hingga mencapai imam ke dua belas.[21]
Ja’far al-S}adiq mengalihkan imamah dari tangan Ismail kepada Musa al-Kazim karena di dalam riwayat disebutkan bahwa Ismail adalah seorang pemabuk berat. Maka tidaklah masuk akal jika Ja’far al-S}adiq yang dikenal takwa, alim  serta wara’, memberikan wasiat kepada anaknya yang tidak menjauhi larangan dan batas-batas yang telah ditentukan Allah. Namun pengikut Ismail menolak perbuatan Ja’far al-S}adiq ini. Mereka mengatakan bahwa Ismail adalah seorang yang ma’shum sekalipun ia pecandu minuman keras. Menurut mereka, kesenangan minuman keras itu sepengetahuan Allah. Atas dasar itulah mereka mengangkatnya sebagai imam dan mengingkari imamah saudaranya Musa al-Kazim.[22]
‘Isamiliyyah mengakui imamah Ismail ibn Ja’far yang menurut mereka ditetapkan sebagai imam menurut taqdir Allah. Menurut mereka Ja’far Al-S{adiq tidak pernah kawin dengan seorang wanita dan tidak pernah mengambil jariah selama ibu Ismail masih hidup. Sebagaimana Rasulullah tidak pernah kawin selama Khadijah masih hidup dan juga ‘Ali tidak kawin dengan perempuan lain selama Fat}imah masih hidup. Namun mereka berbeda pendapat tentang kematian Ismail di masa ayahnya masih hidup.
Sebagian mengatakan Ismail meninggal. Sebagian lagi mengatakan tidak meninggal namun ia menyatakan meninggal karena taqiyah agar terhindar dari incaran musuh-musuhnya.
Menurut mereka yang menjadi imam setelah Ismail adalah Muhammad ibn Ismail yang urutannya genap tujuh dan bilangan tujuh ini jatuh pada Ismail. Kemudian sesudahnya hanya ada imam mastur yang mengembara ke berbagai negeri dengan cara bersembunyi dan menyampaikan dakwah dengan terang-terangan.
Menurut mereka imam-imam ini berkisar kepada angka tujuh, karena jumlah hari dalam seminggu tujuh, langit berlapis tujuh, planet ada tujuh buah, sedangkan jumlah naqib bilangannya dua belas orang.[23]
Pihak yang mengakui bahwa Ismail telah meninggal menjadikan alas an ini sebagai pengangakatan Musa al-Kazim sebagai imam ke tujuh. Faham inilah yang dianut oleh Shi’ah Itsna Asyriyyah (Imamiyyah). Tetapi sebagian lain dari kaum shi’ah tidak setuju dengan pengangkatan itu dan tetap setia kepada Ismail, sungguhpun ia telah meninggal dunia. Bagi mereka ismaillah imam ke tujuh dan bukan Musa al-Kazim.
Karena mengakui hanya tujuh imam nyata, shi’ah Ismailiyyah ini juga disebut Shi’ah tujuah (Sab’iyah), sungguhpun pada akhirnya tidak semua berpegang teguh pada faham ini.[24]

D. Pemikiran Hukum Shi’ah
Ruang lingkup pemikiran hukum Shi’ah sama halnya dengan seluruh kaum muslimin ;  meliputi segala aspek kehidupan. Namun terdapat beberapa pemikiran yang menjadikan corak utama pemikiran hukum Shi’ah.[25]

1)      Imamah
Shi’ah berpendapat bahwa Imamah kepada Ali ra. dan kekhilafahannya telah ditetapkan dalam nash dan wasiat rasulullah saw. Imamah dan khilafah tidak boleh keluar dari keturunan Ali. Imamah merupakan rukun agama. Shi’ah juga berpendapat bahwa imam adalah ma’shum dari maksiat, berbuat dhalim, salah dan lupa.
Ishmah ini bersifat dahir dan batin, sejak sebelum diangkat maupun setelah menjadi Imam. Salah seorang tokoh Shi’ah, al-Tusi mengatakan, “adalah tidak mungkin jika Allah yang Maha Bijaksana menitipkan amahan yang harus diagungkan dan dimuliakan kepada orang yang terlaknat.”[26]
Seorang Imam juga harus memiliki keluarbiasaan (supranatural), untuk mendukung keimamahannya. Keluarbiasaan itu sama dengan mukjizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Seorang Imam juga harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan shari’at atau hukum yang diamanatkan kepadanya.[27]

2)      Nikah Mut’ah
Shi’ah berpendapat bahwa kebolehan nikah mut’ah berlaku hingga hari kiamat karena tidak ada naskh pada nikah mut’ah. Mereka berdalil dengan ayat :
4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é&
Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya[28]
Rukun mut’ah itu ada lima : Suami, Istri, mahar, pembatasan waktu (taukit) dan sighat ijab qabul. Bilangan pasangan mut’ah ini tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami istri.
Adapun syarat-syarat mut’ah adalah :
1)      Perkawinan ini cukup dengan sighat akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi.
2)      Laki-laki terbebas dari beban nafkah.
3)      Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita.
4)      Istri atau pasangan tidak memiliki hak waris.
5)      Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan.
6)      Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu.
7)      Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak.[29]
Kata al-Istimta>’ (الاستمتاع) semakna dengan mut’ah. Menurut Imam al-Baqir, nikah mu’tah boleh dilakukan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan mut’ah halal dilakukan hingga hari kiamat. Namun khalifah kedua, Umar bin Khattab mengharamkan nikah mut’ah ini.[30]
Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa ayat ini adalah dalil untuk pernikahan syar’i. adapun yang dimaksud dengan al-Istimta>’ (الاستمتاع) adalah kenikmatan sempurna berkumpul dengan pasangan yang sah dalam pernikahan yang sesuai dengan syara’. Adapun yang dimaksud dengan al-Uju>r  (الأجور) adalah mahar yang sempurna yang wajib diberikan oleh seorang suami ketika mengharapkan kesenangan. Dan disebut mahar yang dibayarkan tidak berarti bahwa itu adalah bayaran untuk mut’ah. Firman Allah :
£`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøŒÎ*Î/ £`ÎgÎ=÷dr&  Æèdqè?#uäur £`èduqã_é&
Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka.[31]
Dan firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) $oYù=n=ômr& y7s9 y7y_ºurør& ûÓÉL»©9$# |MøŠs?#uä  Æèduqã_é&
Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya.[32]
Berkaitan dengan QS. Al-Nisa : 25 ini, Ubay bin Ka’ab, Ibn Abbas, Sa’id bin Jubair, As-Suddiy, dan lain-lain membacanya sebagai berikut :
$yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB  )  إلى أجل مسمى(
….. maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka sampai batas waktu tertentu…. (dengan tambahan “sampai batas waktu tertentu”)[33]
Al-Musawi memperkuat pendapatnya tersebut dengan menyebutkan bahwa al-Zamakhsyari, dalam tafsirnya al-Kasysyaf mengutip qiraat (bacaan) tersebut dari Ibn Abbas, sebagai qiraat yang tidak diragukan. Begitu pula al-Razi menyebutkan penafsiran ayat tersebut.[34]
Sesungguhnya nikah mut’ah pernah dibolehkan pada masa awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah SAW mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau telah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada waktu Fathu Makkah, tahun 8 H.
Berkata Aisyah dan Qasim bin Muhammad, “Dalil pengharaman nikah mut’ah dan p[enghapusannya terdapat dalam ayat Al-Qur’an yaitu ayat

tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.
Ketika Umar mengumumkan larangan mut’ah, hal itu dilakukan di hadapan seluruh sahabat Rasulullah saw dan tidak ada satupun yang mengingkarinya. Padahal mereka adalah manusia yang paling banyak mengikuti setiap perintah dan larangan Allah SWT. Seandainya Umar tidak bersandar kepada hujjah tentu tidak akan dibiarkan oleh para sahabat.[35]
Jadi para sahabat tersebut menerima pelarangan ini karena ijma’ mereka atas larangannya. Salah satu sahabat mulia yang mengakui larangan mut’ah ini adalah Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa sayyidina Ali pernah berkata, “Rasulullah saw telah mengharamkan pada perang Khaibar daging khimar jinak dan nikah mut’ah”.[36]
Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyyah. Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Shi’ah tidak boleh melakukan taqiyyah dalam mut’ah, la taqiyyah fi al-mut’ah.
Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya !” Tetapi mu’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Diantara yang menguatkan lagi adalah pelarangan oleh Ali ra. ketika ia menjadi Khalifah.
Shia’ tidak memiliki bukti dari salaf kecuali dari Ibnu Abbas. Akan tetapi Ibnu Abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika dia mengetahui adanya larangan dari Rasulullah.[37]
Keterangan-keterangan pengharaman mut’ah ini sama sekali tidak berpengaruh pada pandangan shi’ah. Diternagkan bahwa Jabir bin Abdullah telah menandaskan bahwa pengharaman itu semata-mata dari Umar. Dan anda akan mendengar lagi ucapan Imran bin Husain, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas serta Amirul Mukminin Ali ra. Dari situ anda akan melihat secara amat jelas bahwa pengharamannya itu bukanlah disebabkan adanya naskh syar’i, tetapi karena seamata-mata karena larangan dari Umar. Sungguh mustahil kalau ada naskh lalu mereka tidak mengetahuinya. Padahal mereka itu adalah orang-orang yang sangat dekat kedudukannya di samping Rasul saw. Dan selalu bersamanya demi memperoleh ilmu dari beliau.[38]
Kedua nasakh dari Rasulullah dan pelarangan Umar bin Khattab atas nikah mut’ah sama sekali tidak diakui oleh Shi’ah. Kaum Shi’ah berpendapat seandainya ada hukum atau ketetapan yang menasakh kebolehan mut’ah pastilah Umar menyebutkannya. Tetapi hal itu tidak dilakukannya.[39]
Selanjutnya Syarafuddin Al-Musawi menyebutkan bahwa penetapan pelarangan itu hanya merupakan ijtihad dan takwil dan ia menganggap usaha itu bisa saja keliru.[40]

3)      Menikah dengan Kitabiah
Shi’ah tidak menghalalkan pernikahan dengan ahl al-kitab berdasarkan d{ahir ayat :
4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$#
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.[41]
Bagi Jumhur, ayat tersebut bukan merujuk pada ahl al-kitab. Firman Allah :
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
(dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.[42]
Shi’ah berpendapat bahwa QS. Al-Maidah : 5 itu sudah mansukh oleh QS. Al-Mumtahanah : 10. Oleh karenanya lelaki muslim tidak dihalalkan dengan wanita Yahudi dan Nasrani.[43]

4)      Hak waris wanita
Bagi Shi’ah wanita hanya memiliki hak waris pada harta yang bergerak. Mereka juga mendahulukan al-‘amm al-shaqi>q daripada al-‘amm li ab. Dan inilah yang dijadikan dasar bangunan akidah shi’ah dalam masalah khilafah ; sesungguhnya Ali (al-‘amm al-shaqi>q) dan keturuannya lebih mulia dari keturunan Abbas ra.( al-‘amm li ab). Mereka juga berpendapat bahwa seluruh nabi mewariskan.
Shi’ah menolak konsep aul dalam perkara warisan. Pendapatnya sesuai dengan pendapat Ibnu ‘Abbas yang menolak Aul. Dalam pandangan Ibnu ‘Abbas dan shi’ah, mustahil Allah menentukan furudl al-muaqadarah bagi para ahli waris tetapi harta peninggalan yang dibaginya tidak cukup.[44]

5)      Talak dengan saksi
Shi’ah berpendapat bahwa talak tidak sah tanpa adanya dua orang saksi, berdasarkan firman Allah :
#sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJŠÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 öNà6Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøƒxC ÇËÈ
Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.[45]

Adapun jumhur berpendapat bahwa dalam masalah jatuhnya talak tidak disyaratkan adanya saksi. Saksi dibutukan sebagai syarat sahnya pernikahan dan tidak ada syarat membatalkannya (talak). Jumhur juga berpendapat bahwa rasulullah saw tidak pernah mewariskan.


6)      Khumus
Sesungguhnya prinsip khumus (zakat sebesar seperlima penghasilan) dalam shi’ah tidak lain hanyalah produk akhir abad ke-5 H, sebelum itu belum dikenal. Khumus hanyalah salah satu cara system Iqtha’iyah (feodalisme) yang implikasinya adalah merampas harta dari tangan manusia. Khumus (seperlima) adalah wajib, dikenakan kepada setiap pendapatan yang diperoleh manusia, melalui usaha, laba perdagangan, harta simpanan, hasil tambang, hasil menyelam dan lain-lain.[46]

Beberapa pemikiran hukum Shi’ah yang lain khususnya sekte Imamiah adalah :
1)      Tidak boleh sujud di atas apa yang selain tanah dan tumbuh-tumbuhan (rumput). Jadi tidak sah shalat kalau sujud di atas wol, kulit dan lain-lain (menggunakan sajadah waktu sujud)
2)      Istinja’ dengan batu khusus pada buang air besar saja, tidak boleh digunakan untuk istinja’ dari kencing.
3)      Tidak sah mengusap kepala dalam wudlu’ kecuali dengan sisa air yang masih melekat di tangan ketika membasuh kedua belah tangan. Jka orang berwudlu membasahi lagi tangannya untuk mengusap kepalanya, maka wudlu’nya tidak sah, meskiun ia telah mela tangannya, ia harus mengulangi wudlu’nya.
4)      Laki-laki berzina dengan seorang perempuan yang masih mempunyi suami, maka haram selama-lamanya baginya untuk menikahinya, meskipun suaminya telah menceraikannya.[47]

3.      Penutup
Sebagai seorang Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, ketika membaca seluruh bentuk pemikiran shi’ah kita dihadapkan pada satu prinsip bahwa tidak kebenaran absolut. Hanya Allah-lah Sang Maha Benar. Oleh karenanya, membaca Shi’ah haruslah dilihat dari kacamata Shi’ah itu sendiri. Kekeliruan dan kesalahan shi’ah sebagai suatu madhhab memang dapat dirasakan semua orang dengan cara membandingkan dengan pola pemikiran selain Shi’ah terutama Ahl Sunnah wa al-Jamaah.
Dari segi sejarah timbulnya Shi’ah saja masih terdapat banyak versi. Namun layak untuk dijadikan pertimbangan apa yang telah dilakukan oleh Mamduh Farhan Al-Buhairi dengan melakukan penelitian mendalam pada teks-teks asli ajaran Shi’ah. Sehingga kekeliruan Shi’ah yang ia tampilkan bisa diterima secara rasional.
Khusus untuk masalah Mut’ah, menarik untuk dicermati bahwa Rafsanjani, mantan presiden Iran, telah mengisyaratkan bahaya Mut’ah ini dengan adanya seperempat juta anak-anak liar di Iran akibat mut’ah ini. Seorang peneliti Iran Syahla Hairi menguatkan, “bahwa Rafsanjani mengancam akan membekukan mut’ah karena banyak problematika rumit yang diakibatkan oleh Mut’ah.”
Wallahu’A’lam.


[1] Fawaizul Umam,  Antara Sab’iyah dan Ghulat : menakar eksteremisme sekte-sekte shiah melalui konsep Imamah, (Surabaya, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel : Jurnal Islamica, Maret, 2008),
[2] Uraian panjang mengenai shi’ah lihat Haysim Al-Musawi, The Shia : Mazhab yiah Asal Usul dan Keyakinannya, Jakarta, Lentera, 2008. buku ini perlu penulis cantumkan agar ada perimbangan informasi langsung dari tokoh atau ulama shi’ah.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,  Ensiklopedi Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 5
[4] Abdullah Annan, Gerakan-gerakan yang menggoncang Dunia Islam (Sejarah Awal Perpecahan Umat), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), 65-66
[5] Muhammad baqir ash-Shadr, al-Fatawa al-Wadhihah, Beirut : Dar at-Ta’aruf, ed.ke-7, 1401 (1981), 98 dalam lihat Haysim Al-Musawi, The Shia…216.
[6] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan  Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000) 60-61
[7] Beberapa sumber cenderung berbeda dalam menetapkan kapan sesungguhnya peristiwa memilukan itu terjadi. Fathoni menyebut pembantaian itu terjadi pada 2 Muharram 61 H / 1 Oktober 680 M. padahal di tanggal tersebut, mengutip Jafri, Husayn dan pengikutnya baru tiba di karbela dan memaasang kemah di sana. Menurutnya, peristiwa itu terjadi pada 10 Muharram 61 H / 10 Oktober 680 M. sependaapt dengan Jafri, Momen dan al-Muzaffar dengan tahun yang sama. Hal ini berbeda, meski tanggal dan bulan sama, dengan Tabataba’i yang justru mengungkap bahwa insiden itu terjadi pada tahun 68 H / 687 M. sumber-sumber yang digunakan, lihat, Fawaizul Umam,  Antara Sab’iyah dan Ghulat…., 154
[8] Keterangan lengkap lihat Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (terj)., )Surabaya, Bina Ilmu, 2006). Sebagai perbandingan pembagian sekte dalam Shi’ah ini lihat Maqa>lat al-Islamiyyi>n wa Ihtila>fu al-Mus}alli>n, karya Abu al-Hasan Isma’il al-Asy’ari.
[9] Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal.....131-132
[10] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh ; analisis histories atas mazhad, doktrin dan kontribusi, (Bandung, Nusamedia, 2005), 101.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI press, 1985), 102-103
[12] Selengkapnya lihat Abu Ameenah, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh, h. 103-105.
[13] Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal.....138-139
[14] MO. Ba’adullah, Fatwa dan Pendirian Ulama Sunni terhadap Akidah Shi’ah, (Bangil, Ma’had Ali Ilmu Fiqih dan Dakwah Masjid Manarul Islam, 1990), 33-36.
[15] Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermadzab. 154
[16]Ibid.,
[17] Imam Abu Zahrh, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman D dan A. Qarib (Jakarta, Logos Publishing House, 1996), 57
[18] Muslih Fathoni, Faham Shi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994), 38.
[19] Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London : University of Chicago Press, 1977), 175-6
[20] Mojan Momen, An Introuction to Shi’i Islam : The History and Doctrines of Twelver Shi’ism, (New Haven and London : Yale University Press, 1985), 35
[21] Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermadzab, 196
[22] Ibid.,
[23] Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal.....167-168
[24] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ….100
[25] Pembagian poin 1 – 4 pada penjelasan pertama mengacu pada Manna’ Qaththan, Tarikh Tasyri’, )Beirut, Resalah Publishers, 2001), 176-177, kecuali disebutkan rujukan lainnya.
[26] Muslih Fatani, Faham Mahdi Shi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta, PT. Raha Grafindo Persada, 1994), 41.
[27] M. Abu Zahra, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam : Bidang Politik dan Aqidah, (Ponorogo, Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), 67.
[28] QS. Al-Nisa : 24
[29] Mamduh Farhan Al-Buhairi, Gen Shi’ah ; Sebuah Tinjauan Sejarah, Penyimpangan Aqidah Dan Konspirasi Yahudi, (Jakarta, Darul Falah, 2001), 199
[30] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan  Islam………….63
[31] QS. Al-Nisa : 25
[32] QS. Al-Ahzab : 50
[33] A. Syarafuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Shi’ah, (Bandung, Mizan, 1993), 90
[34] Lihat Ibid, footnote nomor 2.
[35] Mamduh Farhan Al-Buhairi, Gen Shi’ah……200-201.
[36] Riawayat Bukhari hadith no.5115 dan Muslim 1407. lihat juga Shahih Muslim bab Nikah Mut’ah.
[37] Ibid, 202.
[38] A. Syarafuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting…….94
[39] Lihat keterangan A. Syarafuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting…….97
[40] A. Syarafuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting…….100
[41] QS. Al-Mumtahanah : 10
[42] QS. Al-Maidah : 5
[43] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan  Islam…..62
[44] Ibid 62-63.
[45] QS. Al-T{alaq: 2
[46] Mamduh Farhan Al-Buhairi, Gen Shi’ah….212
[47] Yanggo, Huzaemah Tahido, Perbandingan Mazhab, (Jakarta, Logos, 1997), 149

0 komentar:

Posting Komentar

ABOUT VARIASY

Foto saya
Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
Variasy merupakan Media pers dibawah naungan BEM-J Ekonomi Syari'ah Blog ini milik Prodi Ekonomi Syari'ah (ESY) Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA)Banyuwangi ini merupakan media kreatifitas milik mahasiswa ESY STAIDA Blokagung Banyuwangi Jawa timur Salam Kreativitas. . .