By:
ABD.RAHMAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Allah
menjadikan manusia berpasang‑pasangan, laki‑laki dan perempuan, agar dapat
hidup berpasang‑pasangan menjadi suami istri membangun rumah tangga. yang damai
dan tenteram. Hal ini sesuai dengan al‑Qur’an surat an‑Nisa’ ayat 1 yang
berbunyi:
يا
أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منها رجالا
كثيرا ونساء
Artinya :“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri dan darinyalah Allah menciptakan
istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki‑laki yang banyak.”[1]
Seiring
dengan maraknya pembahasan tentang masalah perempuan dalam dasawarsa terakhir
ini, wacana Islam kontemporer secara langsung maupun tidak tentu bersinggungan
dengan permasalahan aktual ini. Sebenarnya pembahasan semacam ini bukan “barang
bard” dalam pemikiran Islam karena hampir setiap pemikir Islam di masa lalu
selalu memiliki bahasan eksklusif tentang perempuan.[2]
Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana Islam mendudukkan perempuan dalam
segala hal.
Dalam
bahasan tentang pelaku hukum (al‑mahkum
‘alaih) para ulama fiqh (fuqaha) klasik
tidak membedakan antara laki‑laki dan perempuan, baik dalam hal ahliyyah al‑wujub (kecakapan menerima
kewajiban) maupun ahliyyah al‑ada’ (kecakapan melaksanakan
hukum). Memang terdapat peristiwa yang khusus terjadi pada perempuan yang
mengakibatkan hilangnya kecakapan hukum ini, yakni haid dan nifas. Artinya,
pada dasarnya tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara laki‑laki dan
perempuan. Perbedaan ini terjadi untuk kasus‑kasus tertentu yang lebih
dipengaruhi oleh faktor biologis perempuan yang berbeda dengan laki‑laki serta
faktor sosiologis yang mempengaruhi status antara laki‑laki dan perempuan.
Misalnya, dalam hal ibadah tertentu terdapat persyaratan suci dari haid dan
nifas bagi perempuan serta adanya
perbedaan ketentuan aurat, dan salat Sum’at antara laki‑laki dan perempuan.
Dalam,
hubungan keluarga, juga terdapat sejumlah perbedaan, seperti tentang wali bagi
perempuan. Kewajiban. bagi laki‑laki (suami) memberikan nafkah keluarganya,
serta perbedaan waris antara lelaki dan perempuan. Sementara dalam hukum publik
perbedaan itu terjadi misalnya dalam hal diyat (tebusan) dan kesaksian, serta
perbedaan hak menduduki kepemimpinan dan jabatan‑jabatan publik.[3]
Kesaksian
laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam pernikahan yang masih menjadi
kontroversial, dan hal ini sudah menjadi konstruksi budaya antara superioritas
laki‑laki dan inferioritas perempuan dalam masyarakat. Ini cenderung
dikarenakan oleh fiqh yang diformulasikan oleh para fuqoha dihasilkan dari
upaya interpretasi al‑Qur’an dan as‑Sunnah yang memihak pada laki‑laki.
Seperti
dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
عن
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في أضحى أو
فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال يامعشر النساء تصدقن فإني أريتكن أكثر أهل
النار. فقلن وبم يارسول الله؟ قال: تكثرن اللعن وتكفرن العشير، ما رأيت من ناقصات
عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن. قلن: وما نقصان ديننا وغقلنا؟ قال:
أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل؟ قلن: بلى. قال: فذلك نقصان عقلها. أليس
إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟ قلن: بلى. قال: فذلك نقصان دينها.
Artinya: “ Abu Sa’id al-Kliudri berkata:
Rasulullah saw keluar menuju tempat shalat pada hari Idul Fitri atau Idul Adha,
dan lewat di hadapan para perempuan. Rasulullah berkata: “Wahai perempuan
bersedekahlah. Sesungguhnya kalian banyak yang masuk neraka. Mereka bertanya?
Mengapa wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: Kalian sering mengumpat dan
mengabaikan keluarga. Saya tidak melihat para perempuan yang akal dan agamanya
kurang, mampu menghilangkan akal seorang laki‑laki yang teguh hati, melebihi
salah satu dari kalian.” Mereka bertanya, “Apa kekurangan akal dan agama kami
ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Bukankah kesaksian seorang perempuan sama
dengan setengah kesaksian laki‑laki? “ Mereka menjawab,”Ya.” Rasul berkata,
“Itu merupakan kekurangan akaInya. Bukankah jika seorang perempuan haidh maka
ia tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menjawab, “Ya.” Kata Nabi, “Itulah
kekurangan agamanya.”[4]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang melatarbetakangi adanya
ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam hukum
pernikahan Islam, dan bagaimana pengaruh konstruksi budaya terhadap ketentuan
tersebut?
2.
Di manakah letak ketidakadilan
jender dalam ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam
hukum pernikahan Islam?
3.
Bagaimana implikasi dari
ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam hukum
pernikahan Islam terhadap status perempuan?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dalam penelitian ini antara lain:
1.
Untuk mengetahui dan menjelaskan
tentang latar belakang ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding
dua dalam hukum Islam, serta pengaruh konstruksi budaya terhadap konsep
tersebut.
2.
Untuk menjelaskan letak
ketidakadilan jender dalam ketentuan kesaksian laki-laki dan perempuan satu
banding dua dalam hukum pernikahan Islam.
3.
Untuk menjelaskan implikasi dari
ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam hukum
pernikahan Islam terhadap status perempuan.
D.
Metode
Penelitian
1.
Data
yang Diperlukan
Adapun
data yang diperlukan adalah data-data literair yang berkaitan dengan adanya
ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan dalam, pernikahan Islam dan
keadilan jender, pengaruh konstruksi budaya terhadap ketentuan tersebut, dan
beberapa pendapat ulama dan pemikir tentang ketentuan siapa yang berhak menjadi
saksi dalam pernikahan, kemudian dikorelasikan dengan keberadaan budaya yang
rnelatarbelakanginya, antara lain:
a.
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan
Perempuan (Abdul Muqsit Ghozali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, dan Syafiq
Hasyim)
b.
Paradigma Gender (Mufidah CH.)
c.
Argumen Kesetaraan Jender
(Nasaruddin Umar)
2. Sumber Data
Data
yang diperlukan diambil dari beberapa buku yaitu:
a.
Fiqh Perempuan (Husein Muhammad)
b.
Fiqh Lima Madzhab (Muhammad Jawad
Mughniyah)
c.
Shahih Bukhari (Abi Abdullah
Muhammad. bin Ismail al‑Bukhari)
d.
Fiqh Munakahat (Slamet Abidin dan
Aminuddin)
e.
Fiqh Sunnah 6 (Sayyid Sabiq)
f.
Dan sumber‑sumber data yang lain
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang
berasal dari buku‑buku dan naskah‑naskah yang berkenaan dengan pembahasan di
atas. Jadi pengumpulan datanya dengan teknik dokumentasi,
4.
Tehnik
Analisis Data yang di gunakan adalah Deduktif dan Induktif
E. Pembahasan
1.
Konsep Jender
Dan Konstruks1 Budaya Masyarakat Arab
a) Konsep Jender
1)
Pengertian
Jender
Jender berasal dari bahasa Inggris, “gender” yaitu jenis kelamin,[5]
dan jender adalah perbedaan yang tampak pada laki‑laki dan perempuan apabila
dilihat dari nilai dan tingkah laku. Untuk dapat lebih memahami tentang konsep
jender maka harus ada perbedaan antara kata jender dengan kata seks (jenis
kelamin). Misalnya bahwa manusia jenis laki‑laki kalau dewasa memiliki jakun
dan adakalanya berkumis.[6]
Sedangkan perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat
menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui.[7]
Artinya alat‑alat yang secara biologis sudah melekat pada laki‑laki dan
perempuan, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali
semenjak manusia lahir, dan itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau
kodrat.
Perbedaan jender (gender differences)
antara manusia laki‑laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang.
Pembentukan jender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk,
kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruk melalui sosial atau
kultural, dilanggengkan oleh latar prestasi agama dan mitos‑mitos, seolah‑olah
telah menjadi kodrat laki‑laki dan perempuan. Proses selanjutnya perbedaan
jender dianggap satu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah sehingga perbedaan
tersebut dianggap kodrati.
2)
Konsep Keadilan
Jender
Pandangan yang memojokkan kaum perempuan
dengan budaya patriarkhinya sangat merugikan kaum perempuan pada umumnya.
Sehingga akumulasi perempuan baik kualitas maupun kuantitasnya di sektor publik
sangat rendah. Dengan demikian sejak feminis Barat menggulirkan wacana feminisnya, banyak negara‑negara. yang
tergugah untuk mewujudkan keadilan bagi laki‑laki dan perempuan dengan
menetapkan atau memperbaiki kebijakan‑kebijakan yang bias jender dan melakukan
sosialisasi yang terus‑menerus.
3)
Kesatuan dan
Keragaman
Menurut
Tawney: “…..manusia mempunyai keragaman dalam dirinya masing‑masing, entah itu
biologis, aspirasi, kebutuhan, ketrampilan dan kesukaan. Dia menyatakan: bahwa
kesetaraan yang adil adalah konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang yang
memberikan haknya sesuai dengan kondisi perorangan atau disebut “person
regarding equality.”[8]
Kesetaraan dalam. keragaman dapat tercapai bila keragaman yang ada pada diri manusia, dapat dihormati
sebagai sesama makhluk hidup, tidak lebih dan tidak kurang dari yang lainnya.
Tetapi semata‑mata berbeda dalam kemampuan, bakat dan kodratnya.
2.
Kesaksian Dalam
Rukum Pernikahan Islam
a) Saksi dalam Islam
1) Pengertian Saksi
Kata saksi
berasal dari kata syahada (شهد) yang
berarti menyaksikan, yang kemudian bisa dikembangkan menjadi شهد الشيء yang
diartikan dengan menyaksikan sesuatu. Kata tersebut berbentuk fi’il (kata
kerja) dengan bentuk fa’il الشاهد yang bermakna
saksi.[9]
Sedangkan dalam etimologi bahasa Indonesia saksi adalah orang yang melihat
suatu peristiwa atau orang yang diturutkan dalam suatu perjanjian‑perjanjian.
2) Syarat‑syarat Saksi
Dalam menyatakan
kesaksiannya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, di
antaranya: berakal sehat, dewasa dan mendengarkan pembicaraan kedua belah pihak
yang berakad dan memahami bahwa ucapan‑ucapannya itu maksudnya adalah ijab‑kabul
pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah mereka bisa mendengarkan
suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut adalah suara kedua orang yang
berakad. Jika menjadi saksi itu anak‑anak, orang gila atau orang yang sedang
mabuk, maka akadnya tidak sah. Sebab keberadaan mereka dianggap tidak ada.[10]
Persyaratan tersebut merupakan persayaratan mutlak yang harus dimiliki seorang
saksi dalam setiap persaksian. Mengenai persyaratan bagi saksi dalam
pernikahan, para ulama madzhab memiliki kriteria‑kriteria tersendiri.
b) Kedudukan Saksi Laki‑laki dan
Perempuan Dalam Islam
Sebagaimana
dijelaskan di atas, perdebatan masih berlangsung antara para ulama sehingga
ketentuan tersebut menjadi kontroversi. Namun, sebelum membincang tentang
kedudukan saksi laki‑laki dan perempuan dalam, perlu dikaji ulang mengenai
kedudukan laki‑laki clan perempuan dalam Islam.
Ajaran Islam
tidak pernah memposisikan laki‑laki dan perempuan secara tidak sama. Islam
mengakui dua jenis makhluk yang berbeda kelamin tersebut secara adil. Yakni
sama‑sama memposisikan laki‑laki dan perempuan sebagai hamba. Ini bisa dilihat
dari salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan
sebagaimana disebutkan dalam Q. S. al‑Zariyat ayat 56. Manusia, baik laki‑laki
dan perempuan masing‑masing akan mendapatkan penghargaan dari Allah. Sesuai
dengan kadar pengabdiannya. Sebagaimana disebutkan dalam Q. S. al‑Nahl ayat 97.
Persaksian dalam hukum pernikahan Islam telah menjadi syarat dan kategori
tersendiri sebagaimana telah diungkapkan oleh para ulama madzhab dengan segala
argumentasinya. Yang jelas‑jelas menempatkan perempuan pada, derajat kedua
dengan adanya konsep dua banding satu. Tidak ada pembahasan khusus atau
mendalam. tentang persaksian perempuan dalam. pernikahan. Kedudukan laki‑laki
dan perempuan dalam persaksian pernikahan Islam memang tidak seimbang mengacu
pada pendapat golongan Syafi’i yang mengatakan saksi dalam pernikahan harus dua
orang laki‑laki. Dan Imam Hambali serta Hanafi yang berpendapat saksi bisa
dengan satu orang laki‑laki dan dua orang perempuan. Tanpa adanya argumen lebih
lanjut pada waktu itu. Dan yang ada adalah interpretasi yang tidak lepas dari
tafsir kaum laki‑laki dan budaya patriarkhi yang melingkupi. Argumen yang ada
didasarkan pada riwayat Abu Ubaid dari Zuhri, yang mengatakan “Telah berlaku
contoh dari Rasulullah saw bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi saksi dalam
akad nikah, talak dan pidana. Akad nikah bukanlah suatu perjanjian kebendaan,
dan yang biasanya menghindari adalah kaum laki‑laki. Karena itu tidak sah akad
nikah yang disaksikan oleh dua orang perempuan, seperti halnya urusan pidana
tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan.
Berbeda dengan
argumen golongan Hanafi, mereka tidak mensyaratkan saksi harus laki‑laki tetapi
kesaksian 2 orang laki‑laki atau seorang laki‑laki dengan dua orang perempuan
adalah sah.
3)
Analisis Dimensi
Keadilan Jender Tentang Ketentuan Kesaksian Laki‑Lak Dan Perempuan Satu Banding Dua Dalam Hukum
Pernikahan Islam.
a)
Analisis Latar
Belakang Ketentuan Kesaksian Laki‑laki dan Perempuan Satu Banding Dua Dalam
Hukum Pernikahan Islam
Sebelum Islam datang, pada masa
Jahiliyah perempuan tidak dihormati hak‑haknya dalam sosial kemasyarakatan. Perempuan
pada masa itu, harga dirinya diinjak‑injak dan dianggap sebagai aib dalam
keluarga. Sehingga jika ada keluarga yang melahirkan anak perempuan, dia akan
dibunuh bahkan dikubur hidup‑hidup, dan hal ini dijelaskan dalam al‑Qur’an Q.
S. at‑Takwir (81] ayat 8‑9. Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab
sebelum. Islam diwarnai dengan kultur Baduwi yang sering disebut dengan nomad society. Mereka berpindah tempat
untuk kelangsungan hidup mereka dan gembalanya. Sistem yang demikian,
berpengaruh cukup kuat. Hal ini pun mempengaruhi seluruh aktivitas mereka
hingga mulai perkawinan, kesaksian dan juga kewarisan. Perempuan dilarang
menjadi saksi, dan juga dilarang mewarisi harta peninggalan keluarganya. Kaum
perempuan mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Agama Islam diyakini sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (agama yang
menebarkan rahmat bagi alam semesta) dan salah satu bentuk rahmatnya adalah
Islam tidak membedakan perlakuan antara laki‑laki dan perempuan. Serta mengakui
terhadap keutuhan kemanusiaan bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam
segala bidang, baik pendidikan, kemanusiaan, hukum, ekonomi dan sebagainya.
Dalam al‑Qur’an juga ditegaskan bahwa laki‑laki dan perempuan mempunyai
kapasitas yang sama baik kapasitas moral, spiritual dalam menyampaikan
pesannya, al‑Qur’an sering kali menggunakan ungkapan “lakil-laki dan perempuan
muslim”. Sebagai bukti adanya penguatan terhadap kesetaraan hak dan kewajiban
di antara mereka. Selain itu di dalam menjalankan kewajiban agama, al‑Qur’an
tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada keduanya, karena mereka memiliki
kemampuan yang sama untuk menjadi manusia yang baik, dan Allah hanyalah
prestasi dan kualitas taqwanya tanpa perbedaan etnis dan jenis kelamin tidak
ada faham the second sex yang
mengutamakan kepada jenis kelamin tertentu atau. the fist ethnic yang
mengistimewakan suku tertentu.
Alasan utama ketentuan kesaksian laki‑laki
dan perempuan dalam hukum pernikahan perempuan dianggap sosok yang lemah
irasional dan emosional. Sehingga tidak pantas diberi kesempatan untuk menjadi
pemimpin, dan kesaksiannya dalam pernikahannya sama dengan setengah dari
kesaksian laki-laki. Karena adat istiadat atau budaya masyarakat bukan
merupakan suatu aturan yang abadi, sehingga dalam suatu budaya dan waktu yang
berbeda perempuan menjadi kuat, rasional dan tidak emosional. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soepomo dan Van Vallen Hoven yang menyatakan bahwa hukum adat
memiliki sifat yang tidak statis, artinya terus menerus dalam keadaan tumbuh
dan berkembang seperti hidup itu sendiri.[11]
Dalam konstruksi budaya masyarakat Arab,
perempuan dianggap hanya mampu mengerjakan tugas dalam ruang lingkup domestik
saja, dan dalam yang publik, laki‑laki yang berperan dominan. Sehingga d alam
pembagian kerja antara laki‑laki dan perempuan cenderung didasarkan pada
tuntutan dan kategori biologis.
Perbedaan pembagian kerja tersebut,
cenderung disebabkan oleh kondisi sosial budaya yang sangat tergantung dengan
ruang dan waktu, bukan disebabkan oleh faktor biologis yang berasal dari Tuhan
(kodrat). Dengan demikian seharusnya pembagian kerja dalam suatu masyarakat
tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis,
melainkan pada kualitas, skill dan peran berdasarkan konvensi‑konvensi sosial.
Berdasarkan analisis data di atas maka
dapat disimpulkan bahwa alasan ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu
banding dua dalam hukum pernikahan Islam
dikarenakan oleh konstruksi budaya masyarakat Arab yang didominasi oleh laki‑laki
dalam semua sektor. Tetapi sangat memungkinkan sekali pada masa yang lain
ketika perempuan memiliki kekuasaan dan kedudukan yang sama dengan laki‑laki.
Ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam hukum
pernikahan Islam, dapat berubah sesuai dengan budaya masyarakat saat ini.
b)
Analisis
Keadilan Jender dan Budaya Patriarkhi
Patriarkhi adalah konsep bahwa laki‑laki memegang kekuasaan atas semua
peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, militer, pendidikan, industri,
bisnis, perawatan kesehatan, agama. Perempuan termarginalkan dari akses
kekuasaan itu. Ini lantas perempuan sama sekali tidak mempunyai hak. Pengaruh
dan sumber daya, tetapi sepertinya keseimbangan kekuasaan menguntungkan laki‑laki
mengorbankan perempuan.[12]
Banyak orang mengacaukan masalah
keadilan dan kesetaraan jender sebagai usaha untuk menyaingi laki‑laki. Padahal
maksud dari keadilan jender adalah perlakuan yang adil yang diberikan kepada
perempuan dan laki‑laki. Ini berarti bahwa kesamaan atau kesetaraan laki‑laki
dan perempuan adalah dalam kemanusiaanya
atau realitas kehambaannya, bukan dalam struktur anatomi fisik dan psikisnya.
Karena kedua kutub tersebut jelas berbeda.
Dari diferensiasi struktur anatomi fisik
dan psikis tersebut lahir pula diferensiasi hak dan kewajiban. Oleh karena itu,
ungkapan yang benar adalah laki‑laki clan perempuan sama. Mempunyai hak dan
kewajiban, tetapi bukan hak dan kewajiban yang identik[13]
dan Islam tidak membedakan atau berlaku diskriminatif.
dalam kehidupan masyarakat manusia
sedang menuju pada tuntutan‑tuntutan demokratisasi, keadilan dan penegakan hak‑hak
asasi manusia. Semua ini meniscayakan adanya kesetaraan manusia yang merupakan
nilai‑nilai yang tetap diinginkan oleh kebudayaan manusia di segala tempat dan
zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai terwujud dalam kebudayaan
manusia. Oleh sebab itu, nilai‑nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi
semua kepentingan wacana‑wacana kebudayaan, ekonomi, hukum dan politik. Dengan
begitu diharapkan nantinya memberi peluang bagi terciptanya sistem kehidupan
yang tidak diskriminatif, subordinatif, memarginalkan manusia baik laki‑laki
dan perempuan.[14]
c)
Implikasi dari
Perbedaan Kedudukan Kesaksian Laki‑laki dan Perempuan Satu Banding Dua Dalam
Hukum Pernikahan Islam
Ajaran‑ajaran memiliki relevansi dengan
seluruh zaman. Ajaran‑ajaran yang demikian seharusnya tidak diperlakukan
sebagai ajaran normatif.[15]
Ajaran ini harus dilihat dalam konteks di mana ajaran tersebut harus
diterapkan.
Maka dari itu, pada masalah kesaksian
dalam pernikahan, apakah laki‑laki atau perempuan sama‑sama diperbolehkan
menjadi saksi. Dalam fiqh, dibutuhkan syarat‑syarat tertentu untuk menjadi
seorang saksi. Di antara syarat‑syarat saksi yang menjadi kontroversi adalah
dzukurah. Artinya seorang saksi dalam hal ini diharuskan berjenis kelamin laki‑laki.
Dengan kata lain, perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi, balk dalam
pernikahan maupun perceraian.
Pada dasarnya ada dua hal yang dihadapi
oleh perempuan dalam persoalan kesaksian ini. Pertama, perempuan sama sekali
tidak mempunyai hak untuk menjadi saksi, baik dalam pernikahan maupun
perceraian. Kedua, meskipun diperbolehkan memberi kesaksian, nilai kesaksian
dua perempuan sama nilainya dengan kesaksian seorang laki‑laki.
Para penafsir modern yang simpatik pada
pemulihan hak‑hak perempuan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan
inferioritas perempuan. Penentuan satu banding dua ditetapkan karena pada masa
itu pengalaman kaum perempuan
dalam transaksi bisnis dan keuangan memang kurang memadai dibandingkan dengan
laki‑laki, karena perempuan pada masa itu pula masih terikat dengan budaya
patriarichi yang dominan. Jadi, logikanya dari dua orang perempuan tersebut, satu
orang bertindak sebagai saksi dan yang satunya bertindak sebagai pengingat,
kalau mungkin ada yang terlupakan.[16]
Perempuan masa kini, memiliki akses yang
sama dengan laki‑laki untuk belajar segala macam ilmu pengetahuan, sehingga
asumsi bahwa perempuan berakal kurang dengan sendirinya terbantahkan. Namun
semua itu mengharuskan kita melakukan pembacaan ulang teks ayat surat al‑Baqarah
282 di atas agar ayat tersebut bisa tetap dipahami substansinya secara
kontekstual tanpa harus memaksa menganulir dan menghilangkan teks yang ada.
Jika kaidah ini digunakan untuk membaca
1:2 kesaksian laki‑laki dan perempuan, yang dikaitkan dengan alasan sosiologis
perempuan saat itu. Maka ketentuan ini bisa saja berubah jika kondisi
sosiologis yang menyertai ketentuan itu berubah. Ini berarti bahwa ketentuan 1:
2 kesaksian laki‑laki dan perempuan itu tidak mutlak dalam segala kondisi dan
situasi. Pada saat di mana menunjukkan kesaksian seorang perempuan saja sudah
dianggap representatif, maka kesaksian itu bisa diterima sebagaimana
diterimanya kesaksian dua perempuan yang dianggap representatif ketika teks itu
turun.
Namun para fuqaha dalam membentuk hukum
tentang kesaksian ada yang memperbolehkan dalam. formula kesaksian laki‑laki
dan perempuan satu banding dua dalam pernikahan Islam, dan bahkan ada yang
tidak memperbolehkan kesaksian perempuan. Hal ini sudah menjadi konstruksi
bangunan budaya antara superioritas laki‑laki dan inferioritas perempuan dalam
masyarakat.
Dari pemaparan analisa di atas ada
beberapa implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kesaksian dua banding satu
antara laki‑laki dan perempuan dalam hukum perkawinan Islam, di antaranya:
1)
Menimbulkan pandangan yang
diskriminatif terhadap kaum perempuan terus terjadi.
2)
Kedudukan perempuan terhadap
kesaksian, masih dipertanyakan. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap
perempuan masih minim
Ada beberapa implikasi lain, yang tetap
memarginalkan perempuan. Sehingga perlu adanya konstruksi pemikiran sesuai
dengan perkembangan zaman.
F.
Kesimpulan Dan
Saran
1. Kesimpulan
a.
Terjadinya perbedaan kesaksian
laki‑laki dan perempuan satu banding dua dalam hukum pernikahan Islam
dilatarbelakangi oleh sejarah dan budaya di mana ketetapan hukum menjadi dasar
legitimasi prosesi itu dilahirkan. Dalam pengamatan sejarah terhadap proses formulasi
hukum Islam klasik. Perempuan hanya memiliki sedikit ruang untuk ikut andil
dalam penentuan formulasi hukum fiqh maupun tafsir disebabkan kuatnya budaya
patriarkhi pada masyarakat Arab masa itu.
b.
Ketidakadilan jender terletak
pada marginalisasi kedudukan perempuan pada hukum publik. Dengan berdasarkan
pada asumsi bahwa perempuan memiliki akal dan agama yang kurang. Namun setelah
dikaji lebih mendalam, hal tersebut tidak dibenarkan karena Allah SWT. telah
menciptakan laki‑laki dan perempuan dengan kedudukan yang sama.
c. Implikasi
yang ditimbulkan dengan adanya ketentuan kesaksian laki‑laki dan perempuan satu
banding dua dalam hukum pernikahan Islam
di antaranya adalah:
1)
Menimbulkan pandangan yang
diskriminatif terhadap kaum perempuan terus terjadi.
2)
Kedudukan perempuan terhadap
kesaksian dalam pernikahan Islam, masih dipertanyakan sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap perempuan masih minim.
2. Saran
a.
Bagi kalangan mahasiswa yang
konsen terhadap pemikiran hukum Islam, jelas bahwa hasil tesis ini menunjukkan
betapa rendahnya tingkat kesadaran jender pada pembuatan kebijakan hukum
kesaksian laki-laki dan perempuan dalam hukum pernikahan Islam. Maka usaha
pemutusan ketimpangan jender tidak bisa mengandalkan tesis yang sederhana ini.
Oleh karena itu berjuanglah gali wacana jender yang serius.
b.
Dalam memperjuangkan jender tidak
hanya sebatas wacana tetapi juga dalam taraf pengaplikasian. Persaksian dua
banding satu dalam pernikahan bisa diangkat sebagai langkah awal dalam
mengangkat peran perempuan.
c.
Hendaknya persoalan mengenai
“Dimensi Keadilan Jender dalam Ketentuan Kesaksian Laki‑laki dan Perempuan Satu
Banding Dua dalam Hukum Pernikahan Islam” dijadikan acuan dasar bagi kaum
perempuan untuk memperjuangkan hak‑haknya, agar supaya mereka mendapatkan
keadilan di ruang publik. Artinya ruang gerak mereka tidak hanya di ruang
domestik. Sehingga peran laki‑laki dan perempuan menjadi seimbang baik di ruang
privat maupun di ruang publik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
bin Ali bin Hajar al‑Asqalani. Fathul
Bari bi Syarhi Shahih Bukhari. Beirut: Dar al‑Fikr, 19995.
Ahmad
Warson Munawwir. Kamus al‑Munawwir: Arab‑Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Ali
bin Umar al‑Daruquthni. Sunan Dar Quthni.
Beirut: Dar al‑Fikr, 1994.
Ali
Munhanif (ed). Perempuan Dalam Literatur
Islam Klasik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Asghar
Ali Engineer. Islam dan Teologi
Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Departemen
Agama Republik Indonesia. Al‑Qur’an dan
Terjemahnya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti, 1992.
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Husein
Muhammad. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.
Yogyakarta: LKIS, 1991.
Imam Abi Husein Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim. Beirut: Dar al‑Kutub
al-Ilmiyah, 1995.
John
M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1992.
M. Quraish Shihab.
Tafsir al‑Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al‑Qur’an. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
Mansour
Fakit. Analisis Gender dan Transformasi
Sosial. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2001.
Mufidah
Ch. Paradigma Gender. Malang: Bayu
Media, 2003.
Muhammad
Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta:
Lentera, 1994.
Murtadha
Muthahhari. Hak‑hak Wanita Dalam Islam. Surabaya:
al‑Ikhlas, 1995.
Nasaruddin
Umar. Argumen Kesetaraan Gender Perspetif al‑Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Nasruddin
Baidan. Tafsir bi al‑Rayi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Nawal
el‑Sadawi. Perempuan Dalam Budaya
Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Nur
Rasyidah Rahim. Konsep Kesaksian Wanita
Dalam Perspektif Ulama’ Tafsir dan Feminis Muslim. Surabaya: Skripsi
Fakultas Syari’ah Jurusan Qodlo IAIN Sunan Ampel, th. 1998.
Nurhadi.
Konsep Kesaksian dan Kewarisan Perempuan
dalam Hukum Islam. Surabaya, Skripsi Fakultas Syari’ah, Jurusan Qodio’,
IAIN Sunan Ampel, th. 2000.
Pius
A. Partanto. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1994.
Ruhani
Dzuhayatin dkk. Rekonstruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Ruth
Tiffany Barh House. Identitas Wanita: Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra
Diri. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Sachiko
Murata. The Tao of Islam. Bandung:
Mizan, 1996.
Sayyid
Sabiq. Fiqh Sunnah. Alih Bahasa,
Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981.
Slamet
Abidin dan Aminuddin. Fiqh Munakahat. Bandung:
PT Pustaka Setia, 1994.
Soerojo
Wignyodipoero. Pengantar dan Asas‑asas
Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1995.
Syafiq Hasim.
Hal‑hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu‑isu Keperempuanan Dalam Islam.
Jakarta: 2001.
TO
Ihromi. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995.
W.
Poespoprodjo, EK. T. Gilarso. Logika Ilmu Menalar. Bandung: Pustaka
Grafika, 1999.
Zaitunah
Subhan. Tafsir Kebencian: Studi
Bias Gender Dalam Tafsir al‑Qur’an.
Yogyakarta., LKIS, 1999.
[1]
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti,
1992), 114
[2]
Ruhanj Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Jender
dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2002), 3
[3]
Ali Munhanif (ed.), Perempuan dalam Lileratur Islam Klasik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), 102‑103.
[4]
Ahmad Ali bin Hajar al‑Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shakh al‑Bukhari,
539.
[5] John M. Echols, Hasan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), 265
[6] Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 626
[7] Ibid, 856
[8] Ratna Megawangi, Membiarkan
Berbeda, 32.
[9] Munawwir, Kamus
al‑Munawwir Arab‑Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
746‑747.
[10] Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh
Munakahat I, (Bandung: PT. Pustaka Setia, 1994), 101.
[12] Ratna
Megawangi, Membiarkan berbeda, 103.
[13] Murtada Muthahari, Hak‑hak
Perempuan dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), 73.
[14] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 1991), 12.
[15] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), 236.
[16] Syafiq Hasyim, Hal‑hal Yang Tak Terpikirkan, 235.
0 komentar:
Posting Komentar