By:
ABDUL AZIZ
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya
kebebasan atau freedom adalah hak asasi manusia. Pada berbagai kondisi,
terminologi kebebasan ini potensial untuk menimbulkan multi-tafsir serta
multi-interpretasi sebagai akibat dari perbedaan kepentingan manusia sebagai
penafsir. Kecenderungan multi-tafsir ini terletak pada sejauh mana-serta dalam
kondisi apa-terminologi kebebasan itu bisa digunakan oleh masing-masing
individu. Pada dataran kehidupan praktik bermasyarakat, konsep kebebasan bisa
berimplikasi pada banyak hal, misalnya kebebasan berpikir, kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkehendak.
Dalam resolusi PBB
10 Nopember 1948 telah dijelaskan bahwa terminologi kebebasan bisa bermakna
kemerdekaan untuk melahirkan pikiran, baik secara tertulis maupun lisan.[1]
Ini berarti bahwa segala bentuk kebebasan (termasuk di dalamnya kebebasan pers
sebagai sebuah kebebasan dalam melahirkan pikiran secara tertulis) pada
hakekatnya juga dijamin dalam resolusi tersebut.
Dalam konteks
kehidupan berbangsa di Indonesia, kebebasan (dalam konteks bebas dari segala
bentuk penjajahan) yang merupakan hak segala bangsa telah dijamin secara legal
formal dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sedangkan kebebasan
berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat secara legal formal juga
dijamin dalam batang tubuh yang termaktub pada pasal 28 UUD 1945. Menyimak
lebih lanjut kepada penjabaran yang dimaksud UUD 1945, maka sudah banyak
undang-undang yang lahir sebagai amanat dari pasal 28 tersebut. Misalnya ada lima undang-undang dalam bidang
politik sebagai pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul, dan UU pokok
Pers sebagai pelaksanaan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dengan tulisan.[2]
Dengan
diberlakukannya konsep kebebasan yang tertuang, baik dalam preambule maupun
dalam batang tubuh UUD 1945, maka pada hakekatnya adanya kebebasan berekspresi
bagi bangsa Indonesia telah diakui secara formal. Meskipun demikian, sejalan
dengan sistem sosial yang berlaku, kebebasan yang merupakan hal asasi individu
ini tidak berlaku mutlak karena ia diatur serta dibatasi oleh hak dan kebebasan
yang dimiliki orang lain. Karena sistem sosial ini, maka dalam dataran praktis,
aplikasi dari bentuk kebebasan ini potensial untuk menimbulkan konflik antar
elemen masyarakat sebagai akibat dari perbedaan persepsi tentang istilah
kebebasan itu sendiri.
Sebagai salah satu
bagian dari sistem sosial yang ada, praktik pers di Indonesia juga mengikuti
serta menyesuaikan dengan sistem yang sedang berjalan. Oleh karena itu, konsep
kebebasan yang digunakan pers juga tidak berbeda jauh dengan konsep kebebasan
yang digunakan masyarakat pada umumnya. Bentuk kebebasan yang berlaku dalam
dunia kebebasan pers di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Hal ini
disebabkan pers hidup dan berkembang dalam satu sistem kemasyarakatan dimana
operasionalisasi pers sangat berkait erat dengan eksistensi dan sosial
kemasyarakatan. Oleh karenanya kebebasan pers di Indonesia (dan di negara
berkembang yang lain) juga sangat tergantung dan ditentukan oleh hak serta
kebebasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah.
Masalah yang
menjadikan isu kebebasan pers semakin menarik untuk dibahas lebih jauh adalah
bahwa pers, sebagai salah satu elemen dari sistem kemasyarakatan di Indonesia
memiliki cara pandang serta cara tafsir tersendiri dalam mengapresiasi konsep
kebebasan, yang dikenal dengan istilah kebebasan pers atau press freedom.
Pada sisi yang lain, masyarakat dan pemerintah juga memiliki cara pandang yang
relatif berbeda dengan pers dalam mengartikan 'kebebasan pers'. Hal yang lebih
menarik lagi (dan bisa membuat penafsiran tentang kata 'kebebasan' menjadi
semakin rumit) adalah ketika ternyata tidak selamanya hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat bisa berlangsung secara harmonis . Pola hubungan
semacam ini secara praktikal semakin potensial untuk menimbulkan multi-tafsir
di dalam sistem pers di Indonesia.
Konsep kebebasan
pers yang cenderung menimbulkan berbagai ragam penafsiran ini pada tahapan
tertentu bisa memicu timbulnya konflik kepentingan, baik secara internal dalam
tubuh pers sendiri, konflik dengan user atau konsumen (baca pembaca), serta
konflik dengan the ruler atau pemerintah. Hubungan segitiga antara pers,
masyarakat, dan pemerintah sering membuat pers bersikap ambigu dan menggunakan
standar ganda. Secara teoritis, posisi pers adalah berada di tengah-tengah dan
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan
pemerintah. Namun demikian, pers sendiri juga memiliki kepentingan untuk
mempertahankan otoritas dan eksistensinya dari intervensi pemerintah.
Dalam kontek
Negara Indonesia, kebebasan Pers yang dianut adalah kebebasan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pers yang bebas dan
bertanggungjawab. Makna Pers Pancasila itu adalah khas Indonesia, tidak
menganut kebebasn yang lahir dari konsep kemerdekaan negatif sebagaimana dianut
komunis Soviet dan system Libertarian.[3]
Hanya saja, dalam praktik media, penggunaan
teori ini lebih sering menimbulkan masalah dan ketegangan yang disebabkan oleh
benturan kepentingan (vested interest) antar elemen masyarakat. Secara
teoritis, menurut konsep pers bebas dan bertanggung jawab, pada hakekatnya pers
diberi keleluasaan (kebebasan) dalam menjalankan tugasnya sebagai partner
pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan bangsa dan negara. Dengan
demikian, maka menurut teori ini kebebasan pers diartikan sebagai kewenangan
untuk berkarya tanpa meninggalkan rambu rambu yang telah digariskan oleh
pemerintah atau penguasa
Sejak Orde Baru
tumbang, ideologi dan aplikasi kebebasan pers telah jauh bergeser dari konsep
'kebebasan yang bertanggung jawab sosial'. Kebebasan pers pada era ini lebih
sering dimaknai sebagai sebuah kondisi di mana para pekerja pers tidak boleh
dipaksa dan diintervensi oleh siapapun untuk melakukan tugasnya. Disamping itu
pers juga merasa mampu dan bebas untuk berbuat sesuatu tanpa ada pihak yang
melarang. Kecenderungan semacam ini muncul karena pemerintah sendiri secara
eksplisit menyatakan membuka keran kebebasan bagi para pekerja pers.
Secara teoritis,
kebebasan pers sebenarnya sudah terjamin dalam Undang Undang Pokok Pers (UUPP)
yang diberlakukan sejak pemerintah Orde Baru, dengan diberlakukannya sistem
Pers Pancasila pada tahun 1982. Pada dataran praktek, kondisi terjaminnya
kebebasan pers di Indonesia baru bisa dimulai sejak pemerintahan Abdurrahman
Wahid yang ditandai dengan munculnya perusahaan
media baru dalam jumlah yang relatif besar. Pada era ini, melalui menteri penerangan,
Yunus Yosfiah, pemerintah menyatakan memberikan kebebasan kepada pers dan membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada siapapun dengan untuk mendirikan perusahaan media baru
tanpa harus mengajukan SIUPP. Kebijakan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah ini
disambut sukacita oleh kalangan Pers, lebih-lebih setelah tanggal 5 Juni 1998
pemerintah mencabut permenpen yang sangat dibenci oleh Pers yaitu Permenpen
Nomor I/1984.[4]
Namun dalam
perkembangannya, kebijakan ini telah mengakibatkan munculnya sejumlah besar
media cetak (khususnya dalam bentuk tabloid) dengan nama yang kental berbau
sensasi seperti Playboy, X-File, X-Hot, Gugat. Kalau dilihat dari sisi
isi, koran serta tabloid-tabloid baru tersebut lebih banyak menyajikan berita
dan liputan yang berbau sensasi, pornografi, mistis, dan provokasi. Kalau
diamati secara lebih mendalam, tampaknya era pemerintahan ini merupakan saat
yang menyenangkan bagi para pekerja pers dimana mereka bisa berpesta pora dalam
dunia bebas yang telah lama mereka rindukan. Bebasnya tuntutan tentang
kepemilikan SIUPP mengindikasikan bahwa barang siapa yang memiliki uang maka
dia memiliki akses untuk menyebarkan berita sebanyak-banyaknya.
Melihat trend ini,
ada gejala yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu ketika keran kebebasan
dalam dunia pers dibuka lebar, maka pada prakteknya yang muncul adalah
kebebasan yang nyaris kehilangan kendali. Dengan senjata kebebasan yang
dimiliki, pers seperti saling adu cepat dan adu berani untuk meneriakkan ide ide
mereka. Pers dan elemen masyarakat yang lain menikmati euphoria sehingga hampir
lupa bahwa di balik kebebasan yang sedang dinikmati itu sesungguhnya ada hal
yang harus dipertimbangkan, yaitu hak dan kebebasan yang dimiliki pihak lain
(pemerintah dan masyarakat).
Secara sederhana
bisa dikatakan bahwa unsur kebablasan dalam perkembangan pers ini tidak hanya
terlihat dari nama-nama baru koran dan tabloid yang bersangkutan, tetapi juga
bisa dilihat dari isi berita yang telah bergeser jauh dari konsep kebebasan
yang sesuai dengan Pancasil dan Undang-Undang Dasar tersebut 1945. Ada
kecenderungan beberapa tabloid menyajikan berita yang bernuansa trial by the
press yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Fenomena kebebasan
ini serupa dengan konsep pers liberal yang dipraktekkan di Amerika Serikat,
yaitu bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourt estate
(kekuatan keempat) dalam proses kekauasaan setelah kekuasaan pertama: lembaga
eksekutif, legislative dan yudikatif.[5]
Namun demikian sesungguhnya di balik kebebasan gaya pers liberal ini justru
pers seringkali harus mengalami benturan-benturan kepentingan dengan elemen
lain di luar pers, seperti masyarakt dan pemerintah.
Dalam kondisi
seperti inilah kemudian sangat perlukan perananan Dewan Pers sebagai pihak yang
diharapkan bisa menjaga kualitas dan kebebasan pers agar tetap dalam koridor
yang bertanggungjawab social yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebab
sebagai unsur pers, dewan pers memiliki peranan cukup penting sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, Yaitu:
a.
melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b.
menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c.
memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus
yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d.
mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e.
memfasilitasi
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers
dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f.
mendata
perusahaan pers;[6]
Berangkat dari
beberapa hal yang telah penulis deskripsikan dalam latar belakang masalah di
muka, maka penulis ingin memperdalam penelitian tentang KEBEBASAN PERS DAN
TANGUNGJAWAB SOSIAL
B. PEMBAHASAN.
Untuk menghindari
kesalahpahaman dalam memahami karya tulis ini, penulis merasa perlu menjelaskan
beberapa istilah tentang pers ditinjau dari sisi pustaka:
a.
PERS
: Istilah pers berasal dari bahasa Belanda yang
dalam bahasa Inggris disebut press yang secara bahasa adalah cetak dan secara
istilah biasa disebut juga dengan publikasi secara tercetak.[7]
Untuk lebih mengenal lebih jauh tentang pers, penulis
merasa perlu juga untuk mengenalkan istilah jurnalitisk. Sebab pada dasarnya,
dari sinilah istilah itu muncul. Pada dasarnya, istilah jurnalistik yang dalam
bahasa Romawi disebut journal atau du jour mulai dikenal pada
masa Romawi dimana pada waktu itu pengumuman yang disampaikan kepada masyarakat
yang dicetak dalam bentuk lembaran kertas ditempelkan di dinding-dinding tembok
dan tempat strategis. Sehingga istilah jurnalistik pada waktu itu lebih dikenal
sebagai alat untuk menyampaikn berita kepada massa. Karena kemajun teknologi dan ditemukannya
percetakan surat kabar dengan system silinder maka istilh pers muncul, sehingga
orang mensenadakan jurnlistik dengn pers.[8]
b.
KEBEBASAN
PERS: Dalam dunia pers, ada empat teori yang
digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia yang digagas dan dipopulerkan oleh
Fred F Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm. Empat teori tersebut
dikenal dengan istilah the four theories on the press atau empat teori
pers yang terdiri dari: (a) teori otoritarian, (b) teori libertarian, (c) teori
bertanggung jawab sosial, dan (d) teori Soviet komunis atau totaliter.
Untuk di Indonesia, konsep kebebasan
Pers tentu tidak sama dengan konsep kebebasan pers yang ada di beberapa Negara
lain. Hal ini mengingat bahwa posisi Pers sebagai sub system dari sebuah Negara
tempat dia beroperasi, tentu akan selalu ikut atau dipengaruhi dengan system
yang sedang berkembang di Negara itu. Dalam konteks Indonesia, kebabasan Pers
yang dimaksud adalah kebebasan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Makna
Pers Pancasila itu adalah khas Indonesia, tidak menganut kebebasn yang lahir
dari konsep kemerdekaan negatif sebagaimana dianut komunis Soviet dan system
Libertarian[9]
c.
Dewan
PERS: Adalah sebuah lembaga yang diberi amanat
untuk menjaga kebebasan Pers dan meningkatkan mutu Pers Indonesia. Lembaga ini
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers,
memiliki peran dan fungsi sebagai berikut:
1
melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
2. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik;
3. memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers;
4. mengembangkan komunikasi antara pers,
masyarakat, dan pemerintah;
5. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam
menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan;
6. mendata perusahaan pers;[10]
d.
Sejarah
Perkembangan Pers
Kata pers berasal
dari bahasa Belanda yang dalam bahasa Inggris disebut press yang artinya
tekanan, himpitan, dan padat, yang berhubungan dengan surat menyurat dan
percetakan. Karena berhubungan dengan surat menyurat dan percetakan, kemudian
pengertian Pers disamakan juga dengan istilah Jurnalistik, yang berarti catatan
atau laporan harian.
Istilah
Jurnalistik sendiri biasa disebut sebagai media tertua di dunia ini. Sebab pada
awalnya, tepatnya pada masa Romawi, setiap berita atau pengumuman yang
disampaikan oleh pemerintah pada waktu selalu menggunakan media tulis: ‘’Pada
waktu itu, berita atau pengumuman di pasang dan ditempelkan di pusat kota yang
kala itu disebut Forum Romanum’’[11]
Pada waktu itu,
penguasa maupun masyarakat belum memiliki media lain kecuali melalui tulisan
untuk menyampaikan informasi atau berita yang hendak disampaikan kepada
khalayak. Sehingga praktis media cetak atau jurnalistik pada waktu itu menjadi
satu-satunya alat untuk menyampaikan informasi atau berita.
|
Namun untuk
membedakan apakah informasi yang disampaikan tersebut hasil karya jurnalistik
atau bukan, tentu ada aturan main yang diberlakukan. Artinya, tidak semua
informasi bisa dikatakan hasil karya jurnalistik berita. Tetapi ada kriteria
yang menentukan, apakah informasi yang disampaikn tersebut termasuk hasil karya
jurnalistik atau bukan. Beberapa di antara yang menentukan suatu informasi bisa
dikatakan berita, adalah aktualitas, kedekatan berita dengan pembaca,
penonjolan kejadian atau pelaku berita, dan sifat penting suatu kejadian.[13]
e.
Perkembangan
Sistem Pers di Indonesia
Sebagai sub-sistem
komunikasi massa, pers menempati posisi yang khusus bagi masyarakat Indonesia.
Peran khusus pers itu adalah posisi dimana pers menjadi jembatan yang
menghubungkan antara pemerintah dengan masyarakat dan kelompok masyarakat satu
dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara umum, sistem pers yang berlaku pada
sebuah negara sangat tergantung pada kondisi sistem sosio-kultural dan
sosio-politik negara yang bersangkutan. Dengan demikian, maka sehubungan dengan
pergantian sistem politik pemerintahan yang terjadi di Indonesia, hal ini
secara signifikan berpengaruh terhadap sistem pers yang beroperasi pada masa
tersebut.
1.
Pers Pada Masa Orde Lama
Awal pemerintahan
Orde Lama, semangat bangsa Indonesia dipenuhi dengan doktrin Revolusi yang
dikembangkan oleh Presiden Soekarno yang menggunakan sistem demokrasi liberal.
Segala unsur negara yang ada (termasuk pers) diharuskan untuk berjuang membantu
negara demi kepentingan revolusi. Pada masa ini, kehidupan pers diwarnai dengan
persaingan segitiga antara pers pribumi (sebagai cikal bakal pers Indonesia),
pers yang dikelola etnis cina, dan pers milik penjajah Belanda yang masih
meninggalkan bekasnya sebagai akibat dari adanya upaya clash yang ke dua.
Koran pribumi yang
masih bertahan pada masa itu adalah Merdeka, Indonesia Raya, Pedoman, Berita
Indonesia, dan Suluh Marhaen, tetapi secara ekonomis mereka jauh
tertinggal dibanding dengan dua kompetitornya yaitu koran cina dan koran sisa
penjajah.
Ketertinggalan
ekonomi ini merupakan hambatan yang cukup serius bagi kerja pers yang diberi
beban untuk menjadi alat revolusi. Kondisi ketertinggalan pers pribumi di
bidang ekonomi dibanding dengan pers asing ini setidaknya merupakan refleksi
dari kondisi ekonomi penduduk pribumi yang secara umum memang kalah bersaing
dari penduduk non-pribumi.
Disamping hambatan
ekonomis, sebagai negara yang baru lepas dari penjajah, kehidupan pers
mengalami kendala sehubungan dengan kondisi sosio-politik bangsa Indonesia.
Pada masa demokrasi liberal ini secara politis bangsa Indonesia terpecah pecah
menjadi beberapa partai politik, sehingga pers juga merasa perlu untuk mencari
'perlindungan' dengan cara berafiliasi dengan partai politik tertentu.
Kecenderungan pers untuk mencari afiliasi partai politik ini menyebabkan pers
kehilangan idealisme karena merasa harus 'membela' partai politiknya.
Akibatnya, terjadi 'perang urat saraf' antar sesama pekerja pers yang memicu
suasana kehidupan pers semakin tidak sehat.
Secara umum,
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang sangat dominan karena
dibanding dengan partai politik yang lain, partai ini lebih sering mendapat angin dari presiden
Soekarno. Koran Suluh Marhaen yang berafiliasi kepada PKI benar benar
menikmati masa suka karena koran ini secara otomatis juga menerima beberapa
privilege dan kemanjaan dari pemerintah. Dengan keistimewaan politik yang
dimiliki, Suluh Marhaen merasa memiliki kebebasan untuk mengkritik
beberapa pejabat pemerintah yang berasal dari partai yang berbeda.. Selain
keistimewaan Suluh Marhaen, secara umum, pers pada masa demokrasi
liberal ini banyak disalah gunakan oleh para pejabat yang pada saat yang sama
juga menjadi anggota parpol tertentu. ‘’Pada waktu itu, kebebasan Pers,
banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik, dengan
tujuan agar lawannya itu jatuh dalam pandangn khalayak,’’[14]
Dalama
perkembangannya, Soekarno, selaku presiden menganggap pers semakin liar dan tak
terkendali, maka dia kemudian membatasi gerak pers dengan melakukan
pemberangusan terhadap beberapa koran. Pembatasan ruang gerak pers ini
dilakukan bersamaan dengan perubahan sistem demokrasi dari demokrasi liberal
menjadi demokrasi terpimpin. Akibatnya, pers menjadi lembaga yang setengah
mandul karena cara kerja dan ruang geraknya dibawah kontrol ketat dari
pemerintah. ‘’Ruang gerak para wartawan dipersempit, keterampilan dikekang,
daya piker ditekan,”[15]
2.
Pers
Masa Orde Baru
Pada awal
kepemimpinan Orde Baru, pemerintah memberi janji janji kepada pers,
bahwa pers akan mendapatkan keleluasaan dan kebebasan untuk ikut berpartisipasi
dalam membangun negara dan bangsa. Selanjutnya presiden Suharto berjanji bahwa
pemerintah tidak akan mengontrol dan mengatur kinerja pers, tetapi hanya
'mengawasi' saja. Pers merasa mendapat angin segar dari pemerintah dan berharap
agar pemerintah yang baru bisa memegang teguh janji, meskipun pers masih ragu
dengan terminologi 'mengawasi' yang digunakan oleh pemerintah Suharto.
Pada perkembangan
selanjutnya, janji tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah Orde Baru, karena
ternyata pemerintah yang baru tidak jauh beda dari pemerintah yang lama.
Pembredelan terhadap pers terus menerus terjadi pada era ini dengan alasan pers
telah melanggar ketentuan pemerintah yang menggariskan bahwa 'pers harus ikut
menjaga stabilitas nasional. Meskipun landasan konstitusional yang digunakan
pers menjamin bahwa 'terhadap pers tidak akan dikenakan pembredelan', tetapi
pemerintah selalu menggunakan standar ganda (yaitu landasan kultural dan
landasan stabilitas nasional) untuk menghalalkan press breidel.
Melalui Menteri
Penerangan, Harmoko, pemerintah secara efektif mengawasi dan mengontrol
kerja pers. Ini agak mengherankan, karena Harmoko (yang mantan wartawan) seolah
olah kehilangan 'sense of journalist' nya ketika dengan gagahnya lebih membela
kepentingan Suharto dari pada kepentingan pers. Pembreidelan (dalam hal ini
dilakukan oleh pemerintah dengan cara pembatalan SIUPP) terus terjadi sepanjang
masa pemerintahan Orde Baru ini hingga menjelang akhir tahun 1970-an. SIUPP
(Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) yang harus dimiliki oleh lembaga pers pada
era Orde Baru dianggap sebagai monster oleh para jurnalis, karena dengan alasan
pencabutan SIUPP maka pemerintah bisa membumihanguskan pers tanpa melalui
proses pengadilan.
Akibat dari kondisi serba ketakutan yang dialami kalangan pers ini, maka
fungsi kontrol yang seharusnya dimiliki pers tidak bisa berjalan dengan
maksimal. Yang berlaku adalah kebalikannya, bukan pers yang melakukan kontrol
terhadap pemerintah, tetapi pemerintah yang melakukan kontrol terhadap pers.
Puncaknya, beberapa koran yang sudah punya nama besar ikut menjadi korban.
Salah satunya adalah Majalah Tempo, pada 1996. Meski Mahkamah Agung, tidak
secara tegas melakukan pembatalan SIUP Majalah Tempo, namun membenarkan langkah
Menteri Penerangan pada waktu itu, yaitu Harmoko, melakukan pemebatalan
terhadap SIUP Majalah Tempo. ‘’Padahal pembatalan SIUP tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Pers, karena pembatalan SIUP, implikasinya sama dengan
pembredelan,”[16]
3.
Pers
Masa Reformasi
Masa reformasi
yang diawali dengan demonstrasi besar besaran oleh kalangan mahasiswa ini telah
berhasil memberi nafas segar bagi kehidupan pers di Indonesia. Setelah Suharto
turun dari jabatannya sebagai presiden
RI, pers mulai memiliki kesempatan untuk menunjukkan jati diri yang diinginkan,
yaitu menjadi pers yang bebas dan berani. Wajah dan performa pers berubah
secara spektakuler setelah reformasi bergulir. Kalau pada masa sebelumnya,
dalam upaya mengontrol pers, pemerintah mengharuskan lembaga pers untuk memiliki
SIUPP, maka pada masa ini pemerintah (melalui Menteri Penerangan) menghapus
kebijakan tersebut. Dengan kata lain, pada masa ini SIUPP tidak lagi dianggap
sebagai 'hantu gentayangan' yang membuat panik dan ketakutan lembaga pers dan
para jurnalis.
Dengan ditiadakannya
keharusan memiliki SIUPP ini, muncullah beberapa koran dan tabloid baru
sehingga jumlah penerbitan mengalami booming. Pers Indonesia menjadi lebih
bergairah, bervariasi, dan berwarna warni dengan segmen pasar yang beraneka
ragam, mulai dari kelas sosial rendah sampai dengan kelas tinggi, meskipun
beberapa diantaranya berguguran di tengah jalan. Jumlah SIUP yang dikeluarkan oleh Departemen
Penerangan terus membengkak. Namun tidak semua penerbitan yang mendapatkan SIUP
bisa terbit dengan teratur.[17]
|
SIUPP
|
MEDIA
TERBIT
|
Media
terbit sampai
dengan
akhir tahun
|
1999
|
1.687
|
1.381
(81.7 persen)
|
551
|
2000/2001
|
1.051
(pada tahun ini masih ada penambahan 500 SIUPP)
|
-
|
566
|
Pada hakekatnya,
dilihat dari sudut pandang ekonomi, hidup dan matinya pers sangat tergantung
pada selera masyarakat, dimana masyarakat akan memutuskan menjadi konsumen atau
tidak, karena masyarakatlah yang mempunyai hak untuk menilai kinerja dan
kualitas pers. Ketika sebuah koran memiliki pangsa pasar yang jelas, maka koran
tersebut akan bisa bertahan lama. Nampaknya, hukum pasar inilah yang berjalan
pada era reformasi, sehingga dari banyaknya pers baru, hanya ada beberapa yang
bertahan hidup karena bisa memenuhi selera pasar.
4.
Peran
Dan Fungsi Pers
Secara teoritis,
semua negara yang menggunakan sistem pers yang berbeda-beda. Namun system
apapun yang dianut di seluruh dunia ini mengakui bahwa salah satu peran pers
adalah sebagai agen perubahan sosial. Sebagai agen perubahan sosial (agent
of social change), pers berjasa untuk ikut membantu mempercepat proses
peralihan masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Proses mempercepat
peralihan ini bisa diwujudkan melalui produk-produk berita pers yang dihadirkan
kepada masyarakat, baik yang berupa informasi, pendidikan, mapun hiburan. Lebih
dari itu, sebagai agen perubahan sosial, pers mempunyai beberapa kewajiban yang
harus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara, yaitu:
·
Memperluas cakrawala pandang
masyarakat dengan cara menyajikan informasi yang sifatnya mendidik
·
Memusatkan perhatian khalayak kepada
hal hal yang bersifat positif dan bermanfaat
·
Menumbuhkan serta menyalurkan aspirasi
masyarakat dan negara dalam rangka menumbuhkan kehidupan yang dinamis dan
demokratis
·
Menciptakan suasana membangun dengan
menyajikan informasi yang tidak menyesatkan masyarakat[18]
Beberapa kewajiban
pers sebagaimana disebutkan di atas juga didukung oleh doktrin pemerintah yang
berupa Tap MPR No. II/MPR/1988 yang berbunyi:
"Dalam rangka
meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha
pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers
yang dapat menjalankan fungsinya sebagai: (1) penyebar informasi yang obyektif
dan edukatif, (2) melakukan kontrol sosial yang konstruktif, (3) menyalurkan
aspirasi rakyat, dan (4) meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat"[19]
Sebagai produk
lembaga resmi negara, maka Tap MPR ini menimbulkan implikasi hukum yang harus
dijalankan dan ditaati oleh pekerja pers. Yang menjadi permasalahan adalah,
apabila produk lembaga negara ini (sebagaimana produk produk peraturan tentang
pers yang lain) dibuat oleh orang yang kurang menguasai permasalahan, maka
produk yang muncul pun akan mentah secara substansi. Pernyataan ini dibuat,
setidaknya, setelah melihat produk lembaga negara seperti Undang Undang
Penyiaran dan atau RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi yang menimbulkan banyak
kontroversi karena secara substansi banyak menimbulkan masalah.
5.
Konsep
Kebebasan Pers Yang Bertanggungjawab
1. Beberapa
Teori Tentang Pers
Dalam dunia pers,
ada empat teori yang digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia yang digagas
dan dipopulerkan oleh Fred F Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm.
Empat teori tersebut dikenal dengan istilah the four theories on the press atau
empat teori pers yang terdiri dari: (a) teori otoritarian, (b) teori
libertarian, (c) teori bertanggung jawab sosial, dan (d) teori Soviet komunis
atau totaliter. Ke-empat teori tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:
a)
Teori pers
otoritarian, adalah merupakan teori pers paling tua dan dianggap sebagai cikal
bakal tumbuhnya teori pers yang lain. Teori ini mengajarkan bahwa pers adalah
lembaga yang bertugas sebagai pelayan negara dan, oleh karenanya, mendedikasikan seluruh karya pers nya untuk
negara dan pemerintah. Menurut teori pers otoritarian, pers dianggap tidak
memiliki kewenangan untuk menggunakan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan
negara, tetapi sebaliknya, negara dan pemerintah yang memiliki hak dan
kewenangan untuk mengontrol, mengatur pola kerja, dan mengawasi pers.
Landasan filosofis
sistem pers otoritarian dibentuk oleh cara pandang pers terhadap bentuk
pengorganisasian pemerintah setempat. Oleh karena itu, fungsi pers pada sistem
pers otoritarian jugs didasarkan pada tujuan utama yang telah digariskan
pemerintah. Tujuan tujuan ini pada gilirannya akan mempengaruhi sikap pers
terhadap aspek kultural dan politis komunikasi dengan pemerintah.
Dalam system
otoriter, pers bisa dimiliki baik secara public atau perorangan, namun
demikian, tetap dianggap sebagai untuk menyampaikan kebijakan pemerintah.[20]
b)
Teori pers
libertarian, terori ini berkembang dari doktrin sistem politik negara yang
menganut aliran liberalisme. Penganut ideologi politik libertarian sangat
menjunjung tinggi prinsip kebenaran dan kebebasan manusia dalam berpikir dan
berkehendak. Sebagai sebuah sistem politik, ideologi liberalisme yang pada
suatu negara sudah barang tentu memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap pola
kerja pers (sebagai salah satu sistem sosial) yang beroperasi di negara
tersebut. Bisa dikatakan teory ini
merupakan kebalikan dari teori otoriterian. Kebenaran bukan lagi milik
penguasa. Hak untuk mencari kebenaran merupakan kodrat manusia, dan pers
dianggap sebagai partner untuk mencari kebenaran itu.[21]
c)
Teori pers
bertanggung jawab social, adalah teori yang muncul sebagai tanda telah
bergesernya paradigma teori libertarian. Teori ini muncul sebagai reaksi atas
idealisme kebebasan absolut yang dikembangkan oleh teori libertarian. Teori
bertanggung jawab sosial memiliki asumsi bahwa setiap kebebasan yang dimiliki
oleh manusia pada hakekatnya menuntut suatu imbal balik yang berupa 'tanggung
jawab', karena itu kebebasan seseorang dibatasi oleh tanggung jawab terhadap
orang lain.
Teori pers
bertanggung jawab sosial adalah merupakan bentuk revolusi teori komunikasi yang
menempatkan pers sebagai unsur yang harus ikut bertanggung jawab terhadap
perkembangan dan pembangunan bangsa dan negara. Ideologi bertanggung jawab
sosial ini muncul sebagai akibat dari perkembangan pers libertarian, yang
mengatasnamakan obyektivitas dan kebebasan pers, semakin lama semakin dianggap
membahayakan kepentingan masyarakat. Teori tanggungjawab sosial yang merupakan
evolusi gagasan praktisi media dan hasil Komisi Kebebasan Pers, berpendapat
bahwa selain bertujuan untuk menyampaikan informasi, menghibur dan mencari
untung, juga bertujuan untuk membawa konflik ke arena diskusi.[22]
Teori totaliter
Soviet, dikembangkan dari ideologi Marxisme yang berusaha untuk menghilangkan
sekat sekat sosial dalam masyarakat sehingga tercipta masyarakat tanpa kelas .
Teori yang dikembangkan Karl Marx ini pada akhirnya dianggap sebagai akar dari
munculnya teori komunikasi yang berjalan di negara Soviet. Teori pers yang
digunakan secara luas di Soviet ini menganggap bahwa masyarakat adalah elemen
yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri, oleh karena itu mereka perlu
dituntun oleh negara dalam menangkal serangan musuh. Media dalam system Soviet
dimiliki dan dikontrol oleh Negara dan ada hanya sebagai kepajangan tangan
pemerintah.[23]
- KESIMPULAN
Konsep kebebasan Pers yang ada di Indonesia
tentu tidak sama dengan konsep kebebasan pers yang ada di beberapa Negara lain.
Hal ini mengingat bahwa posisi Pers sebagai sub system dari sebuah Negara
tempat dia beroperasi, tentu akan selalu ikut atau dipengaruhi dengan system
yang sedang berkembang di Negara itu. Dalam konteks Indonesia, kebabasan Pers
yang dimaksud adalah kebebasan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Makna
Pers Pancasila itu adalah khas Indonesia, tidak menganut kebebasn yang lahir
dari konsep kemerdekaan negatif sebagaimana dianut komunis Soviet dan system
Libertarian[24]
Dengan
demikian, kebebasan pers di Indonesia, sebenarnya sudah diberikan dan dijamin
oleh Negara. Hanya saja, kebebasan pers tersebut semuanya tetap ada
rambu-rambu, yaitu kebebasan yang bertanggungjawab bukan hanya kepada
masyarakatm tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimanan yang tertuang
dalam Pancasila dan UUD 1945, dan tentunya juga aturan-aturan yang ada di
bawahnya.
[1] Samsul Wahidin (2006), Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.57.
[2] Ibi,. hlm. 63
[3] Onong Uchjana Effendi (2003), Ilmu, Teori, dan Filsafat
Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
hlm. 115.
[4] Hari Wiryawan (2007), Dasar-Dasar Hukum Media, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm,116
[5] Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A (1999), Komunikasi, Teori dan
Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,147.
[6] UU Nomor 40/1999 tentang Pers pasal 15 ayat (2)
[7] Ibid, hlm, 145.
[8] Dja'far H. Assegaf (1991), Jurnalistik Masa Kini, Pengantar ke
Praktek Wartawan, hlm,10
[9] Ibid, hlm, 115
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm, 9
[12] Ibid, hlm, 152
[13] Abdul Muis (1999) Jurnalistik Hukum Dan Komunikasi Massa, PT.
Dharu Anuttama, Duren Sawit, hlm, 42.
[14] Ibid, hlm, 107-108
[15] Ibid, hlm, 109
[16] Ibid, hlm, 100
[17] Ibid, hlm,117
[18] Undang-Undang Nomor 40/1999
[19] Tap MPR No. II/MPR/1988
[20] Werner J. Severin-James W.Tankard,Jr, (2008) Teori Komunikasi,
Sejarah, Metode Dan Terapan Di Dalam Media Massa, Kencana Prenada Media,
Jakarta, hlm. 374
[21] Ibid, hlm, 146
[22] Ibid, hlm, 379
[23] Ibid, hlm, 380
[24] Ibid, hlm, 115
0 komentar:
Posting Komentar