Agama (ad-dîn) yang
sesungguhnya adalah suatu sistem yang tidak sekedar membicarakan masalah ritual
dan akhirat tapi juga mengatur tata kelola kehidupan dunia. Kita terlalu lama
memposisikan agama hanya sebagai urusan pribadi dengan Tuhan; sehingga membawa
hal keduniaan dianggap sebagai tabu. Ketika mendengar istilah ‘ekonomi syariah’
atau ‘ekonomi Islam’, kita buru-buru menaruh rasa curiga.
Bukankah
‘ekonomi’ istilah yang sangat erat kaitannya dengan masalah duniawi? Mereka
yang meragukan hal bukan hanya kelompok Barat, tapi juga umat Islam sendiri.
Hal itu karena negara-negara yang mayoritas muslim telah dicap sebagai negara
terbelakang bahkan negara Dunia Ketiga. Puluhan bahkan ratusan tahun kita
menganggap hanya ada dua sistem ekonomi [sosialisme dan kapitalisme]. Akhirnya,
kita dipaksa kagum kepada ‘kehebatan’ ekonomi Barat agar mampu mencontoh
mereka.
Kita lupa
ada sebuah sistem ekonomi yang lebih tepat dan sesuai dengan kultur religi
kita—bukan kapitalisme atau sosialisme. Kita pun terlalu lama untuk menuding
kedua sistem tersebut sebagai penyebab kemiskinan dan kerusakan ekonomi
negara-negara muslim. Tapi kita lupa satu hal yang lebih penting; mengkaji
ulang sebuah sistem yang telah kita lupakan: ekonomi Islam.
Perbandingan
kedua sistem tersebut dengan sistem ekonomi Islam tidak bisa sekedar wacana di
atas kertas; tidak juga sekedar kita kagum akan kehebatan (teori) sistem
ekonomi Islam tanpa penerapan praktis. Perjuangan ini membutuhkan kerja sama
aktif dan dukungan seluruh umat Islam. Hal ini sudah dibuktikan oleh dua sistem
(kapitalisme dan sosialisme) tersebut dalam sejarah yang kita lihat.
‘Kehebatan’
dua sistem ekonomi tersebut yang berhasil membawa pembangunan materi besar
(khususnya di Eropa dan Cina) bukanlah semata karena ‘kehebatan’ sistemnya.
Tapi lebih karena keterikatan masyarakat serta kesesuaian dengan aspirasi dan
sikap mereka. Sistem dan mental masyarakat yang menjadi satu serta interaksi
yang kuat dengan sistem telah membawa ‘keberhasilan’ yang mereka impikan.
Begitu juga
dengan sistem ekonomi Islam. Kalau umat Islam sendiri tidak mendukung sistem
yang dimilikinya, maka ekonomi Islam hanyalah sebuah sistem yang hebat dan
dikagumi dalam teori. Kata Syahid Baqir al-Shadr, kita tidak hanya butuh metode
untuk pembangunan ekonomi, tapi butuh kerangka organisasi sosial. Sebuah
kerangka dengan peran seluruh umat Islam dan prinsip yang selaras. Bila umat
Islamnya gagal, maka pembangunan tidak bisa dilaksanakan.
Mungkin
karena hal itu, Monzer
Kahf, seorang
ekonom Suriah, mengeluarkan asumsi dasar dalam ekonomi Islam yakni islamic
man. Menurutnya, orang Islam tidak harus muslim; tapi selama orang tersebut
ingin untuk menerima paradigma Islam maka ia dapat disebut sebagai islamic
man. Paradigma yang dimaksud adalah a) segala sesuatu mutlak milik Allah,
b) hanya hukum Allah yang dapat diberlakukan, c) kerja adalah kebaikan dan
malas adalah keburukan.
Kebangkitan
studi ekonomi Islam beberapa dekade terakhir yang melahirkan begitu banyak
lembaga keuangan syariah (seperi bank syariah dan asuransi syariah) harusnya
menjadi pekerjaan bersama tidak hanya umat muslim tapi juga islamic men.
Segala kekurangan yang ada bukan untuk dicela ataupun dijauhi, tapi justru
menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memperbaikinya dengan tujuan akhir
memperbaiki kondisi ekonomi umat. Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar