Menurut Emha
Ainun Nadjib, Dr. Amien Rais pernah dituduh “kafir” karena menetapkan zakat
profesi (Gala, 19 April 1990). Sebenarnya dia “dikafirkan” bukan karena
zakat profesinya, tetapi karena dia menetapkan dua puluh persen. Buktinya, di
seantero tanah air, para ilmuwan fikih Majelis Ulama Indonesia membahas zakat
profesi. Kita merasakan ada yang tidak adil dalam konsep zakat yang kita
miliki. Petani, yang memperoleh penghasilan 1.000 kg beras setahun, wajib
mengeluarkan zakat 10 persen dari hasil itu. Jika kita konversikan dengan uang,
petani harus mengeluarkan Rp 60.000,- dari penghasilan tahunannya yang Rp
600.000,- Bagilah itu menjadi 12 bulan. la akan memperoleh rata-rata Rp 50.000,-
sebulan (konversikan saja dengan harga beras sekarang, harga tersebut adalah
harga ketika artikel ini ditulis). Kata ilmuwan fikih, petani itu wajib
mengeluarkan zakatnya rata-rata Rp 5.000,- setiap bulan.
Berapa zakat
untuk dokter spesialis? Bila sehari ia menerima rata-rata sepuluh orang pasien,
katakanlah ia memperoleh Rp 150.000,- Sebulan ia mendapat kira-kira tiga juta
rupiah—60 kali penghasilan petani itu. Petani wajib mengeluarkan Rp 5.000,-
—sepuluh persen dari pendapatannya. Dokter, menurut sebagian ilmuwan fiqih,
tidak wajib zakat. Menurut Kitab al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba’ah 1:596, (jilid 1, hal. 596), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu ada
empat macam: ternak, emas dan perak, perdagangan, barang tambang dan rikaz, dan
pertanian. “Lâ zakâta fî mâ ada hâdzihil khamsah (Tidak ada zakat di
luar yang lima ini),” kata Abdurrahman Aljazairi, penulis kitab itu.
Berdasarkan
kitab yang mu’tabar ini, pernah sekelompok ulama tidak berani mewajibkan
zakat atas penghasilan dokter. Dokter hanya diwajibkan infak saja. Bersama
dokter, dibebaskan juga dari kewajiban zakat semua pekerjaan di luar yang lima
itu: pegawai negeri, ABRI, konsultan, pemilik media-massa, pengusaha jasa
angkutan, penulis buku, kontraktor, psikolog, dan ratusan profesi lainnya,
termasuk para pialang saham. Padahal penghasilan mereka ini jauh di atas
penghasilan petani.
Jangan-jangan,
kata kawan saya aktivis LSM, fikih kita ini merupakan fikih kapitalis. Atau
dengan gaya bahasa aktivis Muslim kontemporer, jangan-jangan ini fikihnya kaum mustakbarîn
untuk melestarikan penindasan. Ada yang menggugat lebih jauh. Bukan lagi
fikih yang digugat, tetapi Islam. Kata kawan ini (lebih repot kalau kawan itu
pejabat tinggi), banyak ayat Alquran sudah tidak relevan lagi. Apalagi sunah
nabi. Peraturan zakat itu hanya sesuai dengan perkembangan ekonomi di zaman
nabi, khususnya dalam masyarakat agrikultural. Peternakan, pertanian,
perdagangan, emas dan perak, pertambangan dan harta temuan, adalah sektor-sektor
ekonomi tempo doeloe! Sekarang kita berada pada era industri—bahkan era
informasi. Pada era informasi, lebih dari 60 persen kegiatan ekonomi berada
dalam sektor pengelolaan informasi. Pekerjaan informasi tidak ada zakatnya sama
sekali. Bukankah ini berarti Islam bukanlah agama untuk zaman modern?
Astagfirullah,
begitu jerit kawan saya yang lain. Itu tidak mungkin. Islam mengandung aturan
yang lengkap dan universal. Dr. Amien Rais, dengan ijtihadnya, menemukan
ketentuan 20 persen itu. Orang-orang mengerubuti Dr. Amien Rais dengan sejumlah
pertanyaan: dalilnya apa, ayat atau hadisnya mana, metode istinbath-nya
bagaimana? Konon Amien Rais menjawab pendek: “Saya bukan ahli fikih.” Emha
Ainun Nadjib, yang jebolan Pesantren Gontor, memberikan penjelasan: “Di atas
hukum formal ada moralitas, di atas moralitas ada cinta. Di atas fikih ada
akhlak, di atas akhlak ada takwa dan tawakal dan hubb.” Menurut fikih,
kita cukup membayar zakat dua setengah persen; menurut cinta mungkin kita harus
membayar bahkan 100 persen. Tentu saja ahli fikih tidak akan menerima
argumentasi Emha Ainun Nadjib. Soalnya, tidak ada kaidah cinta dalam ushûl
fiqh.
Kemelut
zakat profesi ini sebetulnya dapat dilacak pada satu penyebab saja: kerancuan ushûl
fiqh. Bukan fikih kita yang kapitalistis, bukan pula Islam tidak sempurna,
tetapi ushûl fiqh-lah yang harus diluruskan. Tidak mungkin kita
menguraikan kerancuan usul fikih dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini.
Dengan risiko mengundang kesalahpahaman, saya akan menunjukkan kerancuan ini
dengan mengambil kasus zakat profesi.
Berdasarkan
hadis Muadz yang terkenal, ada tiga tahap penetapan hukum dalam Islam.
Tetapkanlah dalam Alquran, jika ada aturannya di sana. jika tidak ada, cari
dalam as-sunnah. Jika tidak ada di dalam kedua-duanya, gunakanlah ra’yu
(pendapat). Jadi, untuk kasus-kasus baru yang tidak ada rujukannya di dalam
Alquran dan sunah, kita boleh mengemukakan pendapat sendiri. Untuk itu, tidak
diperlukan dalil naqli (karena dianggap tidak ada).
Bila
konsisten pada aksioma ini, kita harus mengasumsikan dua hal. Pertama,
ada kasus-kasus yang tidak dapat dijawab oleh Alquran dan sunah. Ini berarti
sumber syariat itu tidak lengkap, tidak universal, dan tidak selalu relevan. Kedua,
ijtihad adalah proses penetapan hukum yang murni rasional, sama sekali tidak
relevansional (berdasarkan wahyu). Sehingga tidak heran kalau ada ulama yang
menetapkan tiga sumber hukum Islam: Alquran, sunah, dan ijtihad.
Asumsi
pertama —Alquran dan sunnah— tidak lengkap tentu sangat sukar diterima. Banyak
dalil yang menjelaskan bahwa agama ini sudah sempurna, dan Alquran dapat
menjadi penjelasan untuk segala persoalan (tibyânan likulli sya`i).
Asumsi kedua juga sukar dibenarkan. Bila mujtahid dapat menetapkan syariat
dengan nalarnya, ia sudah menyaingi Allah dan rasul-Nya. Ia telah menjadi syar`î.
Berangkat
dari kemelut ini, para ulama—antara lain—menghasilkan kesimpulan (yang masih
tetap rancu). Yaitu, mereka membagi hukum Islam dalam dua bagian besar: urusan
ibadat, dan urusan adat (keduniaan). Berdasarkan hadis nabi yang populer “Antum
a’lamu bi umûri dunyâkum (Kamu lebih tahu urusan duniamu),” terjadilah
pemisahan pendekatan di antara keduanya. Dalam urusan ibadat, kita tidak boleh
menggunakan nalar. Tidak ada ijtihad di situ. Bila tidak ada dalam Alquran dan
sunah: bas (Ya sudah)! Jangan lakukan. Dibuatlah kaidah: Apa pun (yang
ditambah-tambah) dalam ibadat hukumnya haram, jika tidak ada dalil yang
memerintahkan (dalam Alquran dan sunah). Karena zakat itu termasuk urusan
ibadat, maka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Zakat
profesi tidak diatur dalam syariat; karena itu, tidak wajib.
Kaum
modernis—seperti Persis, Muhammadiyah—berpendapat tidak ada qiyâs dalam
urusan ibadat. Qiyâs adalah proses penggunaan ra’yu, dan ra’yu
tidak dibenarkan dalam urusan ibadat. Anehnya, ulama Persis dan
Muhammadiyah—seperti ditunjukkan dalam salah satu diskusi di Pusat Pengkajian
Islam – UNISBA—menggunakan qiyâs untuk zakat profesi. Mereka lupa dengan
kritik Ibnu Hazm—yang juga digunakan oleh Ibnu Taimiah—terhadap qiyâs dalam
penetapan hukum syariat.
Karena tidak
ada dalil yang tegas tentang zakat profesi (yang sekarang disebut al-mâlul
mustafad), maka mereka menggunakan qiyâs (analogi). Dengan melihat
illat (sebab hukum) yang sama, mereka meng-qiyâs-kan zakat profesi
dengan aturan zakat yang sudah ada. Yang musykil—seperti lazimnya bila
kita menggunakan qiyâs—adalah ketidakjelasan tentang harus di-qiyâs-kan
ke mana?
Penghitungan Zakat Profesi Menurut Ulama Sunni
Syekh
Muhammad Al-Ghazali meng-qiyâs-kan zakat profesi dengan zakat pertanian.
Di sini berlaku nishab (batas minimal wajib zakat), tetapi tidak berlaku
hawl (masa satu tahun pemilikan). Zakat profesi, seperti zakat
pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan (“keluarkan
zakatnya pada saat menuainya”). Nishab zakat pertanian adalah 653 kg. Bila yang
dijadikan ukuran beras, maka nishab-nya—setelah dikonversikan—menjadi
653 x Rp 600,- = Rp 391.000,- (itu harga beras waktu dulu, konversikan saja
dengan harga sekarang). Jika Anda memperoleh penghasilan sejumlah itu, Anda
harus mengeluarkan zakatnya. Berapa? Ini kemusykilan qiyâs dalam
pertanian. Bila pertanian itu menggunakan irigasi, maka Anda mengeluarkan 5
persen. Bila pertanian itu mengambil air langsung dari langit, maka Anda
keluarkan 10 persen. Jadi, perkirakanlah apakah profesi Anda itu seperti sawah
yang diairi irigasi atau air hujan (konglomerat, tampaknya, kebanyakan
mengambil air dari langit!)
Karena
kemusykilan ini, ulama yang lain memilih meng-qiyâs-kannya dengan emas
dan perak. Menurut sebagian ulama (dan ini pun masih diperdebatkan), di sini
berlaku nishab dan hawl. Bila di-qiyâs-kan dengan emas,
maka nishab-nya itu 85 gram (± Rp 1.700.000,-, kalau sekarang (Okt.
2009) sudah lebih dari Rp 27.000.000,-). Bila di-qiyas-kan dengan perak, maka
jumlah nisbahnya 653 gram (kurang lebih Rp 326.000,-, kalau sekarang (Okt.
2009) sudah lebih dari Rp 3.000.000,-). Karena ada hawl, maka jumlah
nishab itu haruslah setelah penghasilan Anda dijumlahkan selama satu tahun.
Bila gaji Anda setahun sama dengan atau lebih dari Rp 1.700.000,- (di-qiyâs-kan
dengan emas), keluarkanlah dua setengah persennya. Kemusykilannya—seperti telah
disebutkan—terletak pada standar yang mau kita ambil: emas atau perak. Tidak
ada kepastian hukum. Yang dirasakan berat adalah bila di-qiyâs-kan
dengan perak, maka penghasilan Anda sebulan sebesar Rp 30.000,00 saja harus
dizakati.
Sebagian
ulama ada yang meng-qiyâs-kan zakat profesi ini dengan zakat perdagangan
(tijârah). Dalam zakat perdagangan masih diperdebatkan apakah ada nishab
dan hawl. Menurut Ustad Abdurrahman dari UNISBA, zakat perdagangan
tidak mengenal nishab. Begitu pula hadis-hadis tentang hawl semuanya
daif. Walaupun begitu, Abdurrahman berpendapat (aneh!), “Namun karena ibadat
zakat itu tidak semata-mata `ibadah, tetapi ibadat yang erat kaitannya dengan
ekonomi keuangan dan kemasyarakatan, maka apabila terlihat kemaslahatannya dan
dapat memudahkan untuk menentukan nishab dan kadar zakat, dapat saja kita
menggunakan hawl…“
Tampak bahwa
meng-qiyâs-kan zakat profesi kepada pertanian, emas dan perak, serta
perdagangan sangat musykil. Memilih satu di antaranya hanya menjadi selera
seorang pemilih. Tidak ada keterangan terkuat. Semuanya lemah. Boleh jadi orang
meng-qiyâs-kannya dengan zakat peternakan atau zakat rikâz (barang
temuan). Kalau boleh di-qiyâs-kan dengan pertanian, mengapa tidak boleh
di-qiyâs-kan kepada rikâz?
Umumnya
mereka ber-istidlal kepada surah al-Baqarah ayat 267, “Infakkanlah
sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan
dari bumi…” Di sini kewajiban infak dari hasil usaha direndengkan dengan
infak dari hasil-hasil “yang Kami keluarkan dari bumi”. Apa yang “Kami kelurkan
dari bumi”? Emas dan perak, pertanian, juga barang tambang dan barang temuan.
Jika di-qiyâs-kan dengan yang pertama, zakat profesi Anda menjadi dua
setengah persen; dan dengan yang kedua menjadi 10 persen; dengan yang ketiga
menjadi 20 persen. Walhasil, ayat Al-Baqarah 267 tidak dapat menyelesaikan
kemusykilan.
Adakah jalan
keluar? Apakah tanpa qiyâs dan tanpa asumsi, syariat menjadi tidak
lengkap? Tulisan ini secara singkat akan menunjukkannya. Karena singkat, perincian
keterangan tambahan tidak disertakan. Tulisan ini lebih dimaksudkan untuk
mengundang diskusi ketimbang memberikan instruksi.
Penghitungan Zakat Profesi Menurut Ulama Syiah
Marilah kita
lihat lagi konsep ijtihad. Ijtihad haruslah diartikan sebagai konsep
menetapkan keputusan dengan menggali dalil-dalilnya dari Alquran dan as-sunnah.
Jadi, sumber hukum Islam hanya yang dua itu. Kita percaya setiap kasus baru
pasti ditunjukkan jawabannya dalam Alquran dan as-sunnah. Bila betul-betul
kasus itu tidak terjawab oleh kedua sumber itu, maka kita berpegang pada
kaidah al-barâ’atul ashliyyah. Pada pokoknya bila Allah tidak
menyebutkan atau memberikan petunjuk-Nya yang jelas, maka kita jangan
mengasumsikan bahwa Allah lupa; tetapi Dia ingin memberikan keleluasaan kepada
manusia.
Marilah kita
kembali ke zakat profesional. Adakah dalil di dalam Alquran atau as-sunnah
tentang zakat profesional tanpa menggunakan qiyâs? jawabannya: ada,
yaitu surah al-Anfâl ayat 41. Biasanya ayat ini diterjemahkan sebagai berikut: “Dan
hendaklah kamu ketahui bahwa apa-apa yang dapat kamu rampas dalam
peperangan, sesungguhnya separuhnya untuk Allah, untuk Rasul, kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.”
Kalimat dengan huruf tegak ini sebenarnya terjemahan (yang setengah benar) dari
kata annamâ ghanimtum min syai.
Apa arti ghanimtum?
Ghanimtum berasal dari kata ghanimah. Dalam Alquran kata ghanimtum
disebut sebanyak dua kali dan maghânim (bentuk jamak dari maghnam)
disebut sebanyak empat kali. Ghanimah tidak selalu berarti rampasan
perang. Ghanimah, dapat juga berarti pahala atau keuntungan. Misalnya,
“…padahal di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak (maghânim katsîrah)”
(QS. An-Nisâ`: 94). Begitu juga, dalam hadis-hadis. Surga disebut sebagai ghanimah
majlis dzikr (Musnad Ahmad, 2 : 330). Puasa disebut sebagai ghanimah
orang beriman (Musnad Ahmad, 2:177). Dalam doa salat hajat yang
terkenal, ada kalimat “aku memohon ghanimah untuk segala kebajikan”. Ghanimah
di situ artinya “keuntungan lebih”.
Karena itu,
kamus-kamus besar bahasa Arab mengartikan ghanimah bukan hanya rampasan
perang, tetapi juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan.
“Ghanimah adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan maupun
bukan peperangan,” Al-Raghib dalam Al-Mufradât, Ibnu Faris dalam Muqayis,
al-Jauhari dalam Shahah Al-Lughah, dan Ibn Al-Atsir dalam Lisân
Al-Arab).
Dengan
demikian, surah Al-Anfal ayat 41 harus kita artikan, “Dan ketahuilah bahwa
apa-apa yang kamu peroleh sebagai kelebihan penghasilan (keuntungan), yang
seperlima adalah kepunyaan Allah Rasul, kerabat…” dan seterusnya. Jadi, di
samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak
keterangan dari as-sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk
kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Sebagian di antaranya kita
cantumkan berikut ini:
Pertama, rombongan Bani Qays menemui Nabi
saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka
takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan
syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan
penghasilan mereka (Shahîh Al-Bukhârî, 4 : 205; Shahîh Muslim, 1
: 35-36; Musnad Ahmad, 3 : 318). Tidak mungkin mereka disuruh
mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu menghindari
peperangan.
Kedua,
ketika Nabi saw mengutus Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk
mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh Al-Buldan, 1 : 81; Sirah
Ibnu Hisyam, 4 : 265). Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada
kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwaththa,
1 : 157; Thabaqat Ibnu Saad, 1:270, dan lain-lain). Kepada Juhaynah bin
Zaid, Nabi juga menyuruh, “Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq
Al-Siyasiyah, 142).
Seperti
telah disebutkan di muka, kita mencukupkan saja keterangan-keterangan ini.
Secara singkat, di luar zakat, ada kewajiban mengeluarkan perlimaan dari
pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikenai kewajiban zakat; pekerjaan-pekerjaan ini
kita sebut sekarang sebagai profesi. Pandangan ini sebetulnya bukan hal yang
baru. Di antara mazhab-mazhab dalam Islam, mazhab ahlulbait (mazhab Ja’fari) sudah lama menetapkan kewajiban
perlimaan ini. Para fuqahâ mereka menetapkan perlimaan dari (1) rampasan
perang, (2) barang tambang, (3) barang temuan, (4) barang-barang lautan seperti
mutiara, (5) barang yang bercampur antara halal dan haram, lalu tidak diketahui
dengan pasti yang mana, dan (6) kelebihan pendapatan setelah dipotong oleh mu’nah.
Apa yang
disebut mu’nah? Mu’nah adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok:
sandang, pangan, dan pangan. Biasanya, di setiap negeri ada ukuran kebutuhan
pokok. Para ahli ekonomi bahkan telah membuat rumus matematis untuk itu. Harus
juga dimasukkan ke dalam mu’nah pengeluaran kita untuk menolong keluarga
yang menjadi tanggungan kita.
Contoh Praktis
Anda seorang
dokter, mendapat penghasilan Rp 3.000.000,- satu bulan. Keluarkanlah dari
penghasilan itu untuk sewa tempat praktek, membayar gaji pegawai, membayar
obat-obatan dan listrik, membayar biaya transport, juga membayar kebutuhan
pokok dan orang-orang yang menjadi tanggungan Anda. Katakanlah, Anda
menghabiskan satu juta setengah untuk segala pengeluaran itu. Ini disebut mu’nah.
Kemudian Anda harus mengeluarkan seperlima dari sisanya. Dipotong mu’nah,
penghasilan Anda tinggal satu juta setengah lagi. Keluarkanlah seperlimanya;
yaitu sejumlah Rp 300.000,- satu bulan.
Anda seorang
dosen dengan pangkat III/D. Jika gaji Anda sebesar Rp 350.000,- dipandang cukup
untuk membayar kebutuhan pokok Anda sekeluarga, maka Anda tidak membayar
perlimaan. Kemudian Anda menulis buku, Anda mendapat royalti sebesar dua juta.
Bayarkanlah sebagian royalti itu untuk ongkos tukang tik, beli kertas, dan
hubungan dengan penerbit. Setelah dipotong pengeluaran itu, Anda memperoleh
hasil bersih satu setengah juta rupiah. Keluarkan Rp 300.000,- Begitulah
seterusnya.
Penutup
Jadi Dr.
Amien Rais tidak “kafir” ketika menetapkan zakat profesi sebesar 20 persen. Dia
sekaligus menunjukkan arah untuk memperbaiki konsep-konsep dasar kita dalam ushûl
fiqh. Selama ini, kita dipenuhi oleh inkonsistensi berpikir dalam
memutuskan zakat profesi. Kita menganggap profesi baru itu tidak diatur dalam
syariat, tetapi kita tidak mau menerima asumsi bahwa syariat tidak sempurna.
Kita melarang qiyâs dalam urusan ibadat, tetapi kita mempraktekkannya
dalam zakat.
Akhirnya,
perlimaan bukan saja menyelesaikan kemusykilan fikih tetapi juga menegakkan
keadilan Islam. Sekarang tidak satu pun profesi yang dapat lolos dari kewajiban
menyantuni kaum mustadh’afîn. Para konsultan, penjual jasa, konglomerat,
keluarkanlah 20 persen dari penghasilan lebihmu! Allah akan memberkati
hartamu dan keluargamu.
2 komentar:
Perlu dijelaskan bahwa tidak semua petani kena zakat..
Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).
Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.”
Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.”
Pertanian yang kena Zakat pun harus memenuhi nishab yaitu 5 wasaq (sekitar 720 kg)..
Mengenai profesi itu sudah ada dizaman Nabi.Nabi sendiri dulunya merupakan pegawainya Siti Khadijah. Namun tidak dikenal zakat profesi di zaman Nabi Muhammad SAW.
Online Casinos in India | Lucky Club Live
Lucky Club is the most comprehensive online casino software provider offering over 2500 unique slots, online table games, and live casino games. Live Casino. Rating: 5 · 1 카지노사이트luckclub review · Free · Sports
Posting Komentar