Dunia tidak
ada yang tak mengenalnya. Sejarah mencatat perjalanannya yang gemilang. Nama
Ali diabadikan pada nama-nama Imam lain seperti Ali Zainal Abidin as, Ali
Ar-Ridha as dan Ali Al-Hadi as. Nama Ali juga menjadi favorit di kalangan Bani
Hasyim dan suku Arab. Kini, namanya menjadi nama dari jutaan penduduk muslim di
dunia. Di Iran sendiri, nama Ali hampir dapat ditemukan pada setiap keluarga
yang memiliki anak laki-laki. Siapakah gerangan pemilik nama pertama yang
menjadi sumber penisbatan bagi jutaan nama-nama Ali lainnya?
Mengurai
pribadi Imam Ali as yang sedemikian perfect, tidak akan pernah mengenal
kata usai. Selalu saja ada sisi-sisi menarik dan hidup yang dapat diangkat.
Para peneliti sosial dan agamawan, agaknya tak pernah kehilangan bahan dalam
mengkaji pemikiran-pemikiran Imam Ali as. Pada hari-hari menjelang Ghadir ini,
kiranya tepat mengkaji kembali berbagai pemikiran beliau. Tulisan ini pun
hendak bertutur setetes dari samudra ilmu Imam Ali as berkaitan dengan
pandangan ekonomi-politiknya.
Menilik Politik-Ekonomi Imam Ali as
Sejarah
mencatat, akhir pemerintahan khalifah Utsman menyisakan persoalan sosial yang
sedemikian kompleks, tak terkecuali melebarnya kesenjangan ekonomi. Di satu
sisi, kalangan bangsawan berpesta pora dengan kas negara. Sedang, di
sudut-sudut Kufah, para gelandangan tengah tercekik kelaparan. Di tengah
kondisi demikian, Imam Ali as mengarahkan ekonomi-politiknya pada keadilan
sosial, yang mengacu pada tiga prinsip. Pertama, supremasi hukum. Kedua,
jaminan sosial. Ketiga, keseimbangan ekonomi.
Supremasi Hukum
Khaulah
Syakir Ad-Dajili (1379:135) (Peneliti Baitul Mal dari Univ. Baghdad)
menyebutkan bahwa pada masa kekhalifahan Utsman tidak sedikit jumlah dari kas
negara yang dihamburkan untuk keluarganya. Dengan alasan itu pula, khalifah
keempat mengembalikan mekanisme pengaturannya sesuai syariah yaitu menepuh
metode yang dilakukan oleh Rasulullah saww. Ad-Dajili menambahkan bahwa,
khalifah keempat sedemikian ketat dalam pendistribusian baitul maal.
Imam Ali as
menerapkan mekanisme pembelanjaan kas negara secara adil. Beliau menentang
keras praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan terhadap keluarganya
sendiri sekalipun.
Suatu hari
di masa kepemimpinan Imam Ali as, saudaranya yang bernama Aqil datang
mengunjunginya. Saat itu udara begitu panas, keduanya berbincang di teras
rumah, menghadap ke arah keramaian pasar. Tibalah saat makan malam, hanya ada
roti kering dan garam. Jauh dari dugaan Aqil yang mengira akan makan besar
dijamu oleh khalifah muslim negeri itu.
Tibalah saat
Aqil harus mengutarakan maksud kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat
melunasi hutangnya yang cukup besar melalui kas negara. Imam Ali as sangat
ingin membantunya, “Tapi tidak dengan uang kas negara” katanya tegas. “Andai
saja aku memiliki simpanan cukup, tentulah semuanya akan kuberikan.” Aqil
kecewa dan terus mendesak.
Setelah
dialog panjang, akhirnya Imam Ali as berkata padanya: “Karena Engkau terus
mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang
dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi,
ambilah!” Aqil sangat terkejut, lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau
menyarankan kepadaku untuk mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?”
Imam as pun
menjawab, “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh
rakyat negeri ini?” (Bihârul Anwâr, 41/113)
Selain itu,
Imam Ali as berupaya menegakkan supremasi hukum dengan menindak tegas para
penyeleweng kas negara. Sehingga, beliau harus berhadapan dengan pejabat Umawi
yang pada saat pemerintahan Utsman mendapat posisi penting, seperti Muawiyah.
Tidak jarang pula, upaya penegakkan hukum ini, menuai perlawanan yang
sedemikian hebat. Namun, semuanya dihadapi dengan pantang menyerah. Bahkan
seperti penuturnya, “Jika seluruh dunia dan isinya ditukar dengan kezaliman pada
seekor semut, maka tidak ada nilainya.” (Nahjul Balâghah, khutbah
ke-224)
Jaminan Sosial
Kehidupan
masyarakat akan berjalan normal, ketika kebutuhan dasar mereka terpenuhi secara
benar. Oleh karena itu, Imam Ali as, setelah membersihkan negara dari sisa-sisa
pejabat korup serta menegakkan supremasi hukum, langkah yang selanjutnya
ditempuh adalah memberikan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat.
Mengingat
ketimpangan sosial yang terjadi saat itu cukup tajam, Imam as memberikan
prioritas pengeluaran kas negara untuk memulihkan kondisi masyarakat yang
berada dalam taraf kemiskinan. Dalam Surat yang ke-53 dan 67 Nahjul Balâghah,
disebutkan bahwa, Imam Ali as mengutamakan pembagian kas negara kepada golongan
fakir dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Dalam
menjamin serta memenuhi kebutuhan masyarakat, Imam Ali as tidak memandang suku,
agama maupun bangsa. Tetapi, beliau bertindak atas dasar prinsip keadilan.
“Suatu hari,
dua orang perempuan, yang satu Arab dan lainnya ajam datang menghadap Imam Ali
as untuk mendapat distribusi kas negara. Imam as membagi keduanya sama rata,
masing-masing memperoleh 25 dirham. Perempuan Arab protes keras: “Hai khalifah,
aku ini Arab dan dia budak, apakah hak kami sama?” Imam Ali as menjawab, “Tidak
ada perbedaan antara keturunan Ismail dan Ishaq dalam pembagian harta ini.” (Wasâ`il
Asy-Syî’ah, 2/431)
Tidak hanya
itu, tentunya kitapun turut menyaksikan bagaimana Imam as memperlakukan para
yatim serta janda miskin. Pada masa kekhalifahannya, Imam as kerap berpatroli
ke daerah-daerah untuk melihat kondisi kehidupan masyarakat.
Keseimbangan Ekonomi
Keadilan
sosial tidak akan terwujud jika keseimbangan ekonomi tidak tercipta. Maka, Imam
Ali as memberikan perhatian serius bagi terciptanya keseimbangan ekonomi.
Beliau berupaya keras memberantas berbagai faktor penghalang terwujudnya
keseimbangan ekonomi seperti: riba, penimbunan, kecurangan serta kezaliman.
Dalam
berbagai seruannya beliau mempropagandakan anti penindasan dan kezaliman,
sebagaimana yang beliau ikrarkan, “Kehancuran sebuah negeri adalah buah dari
kefakiran dan kefakiran disebabkan oleh kerasukan para penguasa.” (Bihâr
Al-Anwâr, 23/604)
Tidak hanya
sebatas retorika, Imam Ali as selalu melakukan inspeksi ke berbagai tempat
berkenaan dengan kebijakan yang ditempuhnya. Hampir setiap pagi, selepas shalat
subuh, Imam Ali as berkeliling masuk dari satu pasar ke pasar lainnya. Saat
tiba di setiap pasar, ia segera menyapa para pedagang seraya berpesan, “Hai
para pedagang, takutlak kalian kepada Allah, janganlah melakukan kecurangan
dalam berdagang. Takutlah kalian pada riba…!” (Wasâ`il Asy-Syî’ah,
12/283)
Pada
kesempatan lain, Imam Ali as juga sangat keras terhadap penimbunan. Dalam
bagian surat yang diberikan kepada Malik Al-Asytar terkait dengan perdagangan,
Imam bersabda, “Hindarilah penimbunan karena sesungguhnya Rasul melarangnya dan
lakukanlah jual beli yang memudahkan dengan timbangan yang adil” (Nahjul
Balâghah, surat ke-59)
Membumikan Ekonomi Politik Imam Ali
Masyarakat
Indonesia masih belum pulih dari kejatuhan krisis moneter sembilan tahun yang
lalu. Saat itu, krisis ditandai anjloknya nilai tukar Rupiah, membengkaknya
hutang luar negeri dan terus menjalar menghantam institusi moneter. Akibatnya
sektor perbankan menjadi lumpuh yang berimbas pada likuidasi puluhan bank.
Lebih jauh, krisis juga telah meluluhlantahkan berbagai persendian ekonomi,
sosial, politik dan berbuntut pada ketidakpercayaan masayarakat.
Jauh sebelum
itu, praktek konglomerasi, korupsi dan koneksi sedemikian lumrah terjadi di
lingkungan istana. Sementara jutaan rakyat di luar sana menanggung beban
kemiskinan dan ketimpangan yang amat perih. Alih-alih menghapus diskriminasi,
hukum homo homini lupus malah semakin merajalela.
Bahkan,
sebagian pengamat meramalkan perjalanan ekonomi Indonesia dapat mengarah pada
kehancuran. Mengamini pandangan Taufik yang menyebutkan adanya berbagai
indikasi kuat memburuknya arah ekonomi Indonesia. (Kompas, 24 Oktober
2005)
Pertama, ketika terjadi ketimpangan dalam
penguasaan alat dan sumber produksi. Contohnya, segelintir orang (sekitar 60
ribu) menguasai seluruh aspek perekonomian Indonesia, termasuk mengatur
kebijakan perekonomian negara.
Kedua, gagalnya alat produksi memenuhi
kebutuhan mendasar masyarakat. Misalnya saja produksi minyak. Sebenarnya,
persediaan minyak di bumi masih cukup banyak untuk bisa memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Namun, ternyata, produksi yang dihasilkan tidak sampai ke tangan
masyarakat karena terjadi banyak penyimpangan.
Ketiga, semua sumber daya yang dimiliki
negara digunakan untuk membayar utang kepada pihak lain, bukan untuk
kesejahteraan rakyat. Indiksi lainnya adalah terjadinya degradasi dan
kehancuran moral di kalangan kaum ulama serta intelektual
Lantas
bagaimana keluar dari krisis multidimensi ini? Tidak sedikit pakar ekonomi yang
hanya menyandarkan pada pendekatan matematis. Standar yang kerap dijadikan
ukuran hanyalah sekitar posisi ekspor impor, kurs, devisa, GNP per kapita,
serta berbagai variabel ekonomi lainnya yang hanya berkutat pada angka
pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan, kemiskinan, pengangguran dan berbagai
variabel sosial lainnya kerap luput diperbincangkan.
Sepakat
dengan Murbyanto (Guru Besar FE UGM Yogyakarta) yang menyebutkan, kebijakan
ekonomi di Indonesia masih mengarah pada “Economics As Religion” dan
ilmu ekonomi (Neoklasik). Masih menurutnya, para alumnus ekonomi “Mazhab
Amerika” menyusun rekomendasi dan menerapkan kebijakan ekonomi yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, kebutuhan bangsa ini tidak
hanya terdiri dari kebutuhan ekonomi materil saja, tetapi juga kebutuhan sosial
dan etik.
Nampaknya,
gagasan menyertakan etika dalam pemecahan persoalan ekonomi, cukup menarik
untuk diangkat. Sudah saatnya, berbagai formula ekonomi yang ada diperbaharui
dengan mengedepankan prinsip keadilan, sebagaimana yang direalisasikan Imam Ali
as empat belas abad silam.
Berbagai
kebijakan Imam Ali as dalam membenahi tatanan kehidupan masyarakat, layak untuk
dikaji serta diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa. Kiranya, para pemimpin
negeri ini harus menjaga komitmen menegakkan supremasi hukum, menangkap dan
mengadili para penjahat ekonomi siapapun dia, tanpa pandang bulu.
Tugas
selanjutnya, memperkecil kesenjangan ekonomi yang sedemikian tajam. Kebijakan
yang diambil diprioritaskan pada persoalan kemiskinan. Sedapat mungkin
menghindari terpusatnya sumber dana pada segelintir orang. Dan yang tak kalah
penting, menerapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada keseimbangan ekonomi
dengan memberantas riba, penimbunan serta berbagai praktik kejahatan ekonomi
lainnya. Dengan demikian, cita-cita menuju ekonomi yang berkeadilan akan
terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar